Gelombang Amarah Publik: Dari DPR, Polisi, hingga Ledakan Sosial

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Gelombang aksi massa yang bermula dari tuntutan di DPR pada 25–28 Agustus, kini menjelma menjadi letupan sosial yang tak terkendali. Unjuk rasa yang awalnya damai berubah menjadi amuk massa, menyasar rumah pejabat, menteri, hingga fasilitas umum yang dijarah warga.

Tragedi paling menyayat terjadi saat seorang pengemudi ojek online tewas dilindas kendaraan taktis polisi. Sejak itu, DPR, DPRD, dan institusi kepolisian kian dipandang sebagai simbol penindasan rakyat, berubah menjadi “musuh bersama” di mata publik.

Fenomena ini tak berhenti di Jakarta. Gelombang solidaritas menjalar cepat ke Makassar, Bandung, Surabaya, hingga kota-kota lain. Seolah ada sinyal tak kasatmata yang menggerakkan rakyat untuk berdiri bersama dalam kemarahan kolektif.

Meski penjarahan tak bisa dibenarkan, aksi itu menunjukkan akumulasi kekecewaan rakyat yang meledak. Ketika orang merasa tak punya lagi yang bisa dipertahankan, hukum pun kehilangan wibawanya. Dalam kondisi ini, pamer kekayaan pejabat atau gaya hidup elitis justru menjadi bara yang menyulut api perlawanan.

Fenomena “flexing” di media sosial—satu pihak berpesta di restoran mewah sementara pihak lain kesulitan membeli beras—semakin memperlebar jurang sosial. Ketimpangan ini menjadi bensin yang menyulut kemarahan publik.

Sejarah sudah berulang kali memberi peringatan. Kekuasaan bisa runtuh bukan oleh lawan politik, melainkan oleh massa rakyat yang lapar dan terpinggirkan. Dari Mussolini hingga Ceaușescu, semua tumbang dalam hitungan jam ketika rakyat kehilangan kesabaran.

Teori sosial pun menjelaskan gejala ini. Émile Durkheim menyebut ketidakadilan yang dibiarkan menciptakan anomie—masyarakat kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karl Marx menulis, kontradiksi antara rakyat lapar dan elit berlimpah pada akhirnya meledak dalam perjuangan kelas.

Kini, kontradiksi itu nyata di jalanan. Amuk massa hari ini bukan sekadar luapan emosi spontan, melainkan tanda retaknya struktur sosial yang sudah lama diabaikan.

Pertanyaannya tinggal satu: maukah para pemegang kekuasaan belajar dari tanda-tanda ini? Atau tetap berjalan dalam keangkuhan hingga sejarah menjatuhkan vonisnya?

(Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.