Jakarta, ebcmedia.id – Pemanfaatan energi surya bukan hanya soal menyediakan listrik, tetapi juga membuka jalan bagi keadilan energi, pertumbuhan ekonomi baru, dan pencapaian target iklim. Pesan inilah yang mengemuka dalam Indonesia Solar Summit (ISS) 2025 bertajuk “Solarizing Indonesia: Powering Equity, Economy, and Climate Action” yang digelar di Jakarta pada 11 September 2025.
Pemerintah menargetkan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) telah ditetapkan target Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hingga 108,7 GW pada 2060. Presiden Prabowo Subianto bahkan menegaskan komitmen lebih besar dengan membangun 100 GW PLTS, terdiri dari 80 GW PLTS tersebar dan 20 GW terpusat.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menuturkan pemerintah menyiapkan tiga program utama, yaitu PLTS Atap, PLTS Skala Besar, dan PLTS Terapung.
“Untuk mendukung implementasi PLTS di Indonesia, diperlukan ketersediaan industri rantai pasok (supply chain) surya, ketersediaan EPC surya di seluruh daerah, serta peningkatan kapasitas SDM, khususnya di wilayah terpencil. Bonus demografi Indonesia perlu dimanfaatkan untuk memajukan energi surya nasional,” kata Eniya.
Ia menambahkan, potensi energi surya di Indonesia mencapai hampir 3.200 GW.
“Potensi energi surya ini bisa menjadi motor transisi energi sekaligus mendongkrak lebih cepat pertumbuhan ekonomi hingga 8%,” ujar Eniya.
ISS 2025 juga meluncurkan inisiatif Solar Archipelago, sebuah komitmen kolektif dari kepala daerah, pelaku usaha, komunitas, dan asosiasi untuk mempercepat pemerataan energi, pertumbuhan ekonomi hijau, serta aksi nyata iklim.
Dari sisi kajian, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai energi surya merupakan pintu masuk penting untuk pengembangan hidrogen dan ammonia hijau. Hasil studi IESR menunjukkan Indonesia berpotensi mengembangkan PLTS darat hingga 165,9 GW di 290 lokasi, serta PLTS terapung sebesar 38,13 GW di 226 lokasi.
Namun, CEO IESR Fabby Tumiwa mengingatkan masih ada sejumlah hambatan.
“Harga batas atas atau ceiling price tidak sesuai dengan keekonomian proyek, subsidi energi fosil membuat harga listrik dari pembangkit fosil seakan-akan murah, sehingga menciptakan persaingan tidak sehat untuk PLTS. Selain itu, jaringan listrik nasional kita yang masih tradisional belum sepenuhnya siap menampung energi surya dalam skala besar,” ujarnya.
Menurut Fabby, modernisasi jaringan listrik, pembangunan smart grid, serta integrasi teknologi penyimpanan energi menjadi solusi penting. Ia juga menilai komitmen Presiden Prabowo membangun 100 GW PLTS sebagai langkah revolusioner.
“Namun, untuk mewujudkannya perlu perencanaan yang rinci, keterlibatan masyarakat lokal, serta inovasi model PLTS skala kecil yang terjangkau dan sesuai dengan aktivitas ekonomi pedesaan,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, ISS 2025 juga memberikan Solar Awards kepada individu, pemerintah daerah, dan perusahaan yang konsisten mengembangkan energi surya. Penghargaan individu diraih Ida Bagus Dwi Giriantari dan Eko Adhi Setiawan. Untuk kategori pemerintah daerah diberikan kepada Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, sementara Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia) meraih penghargaan kategori perusahaan.
ISS sendiri telah berlangsung sejak 2022, digagas bersama Kementerian ESDM dan IESR. Tahun ini, acara diselenggarakan dengan dukungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Pertamina New & Renewable Energy, Tenggara Strategics, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).
(Dhii)