Jakarta, ebcmedia.id – Persidangan kasus dugaan korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta kembali digelar dengan agenda pembacaan pledoi dari terdakwa Iwan Henry Wardhana, M Fairza Maulana, Gatot Arif Rahmadi, Kamis (16/10/2025) yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Pihak pembela menegaskan bahwa kliennya hanyalah bagian dari sistem yang lebih besar, dan mempertanyakan peran pimpinan dinas yang dinilai tidak mungkin tidak mengetahui adanya kegiatan fiktif yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Kuasa hukum M. Fairza, Waspada Daeli, menyampaikan kritik tajam terhadap dalih ketidaktahuan dari Kepala Dinas Kebudayaan dalam kasus ini.
“Logikanya begini, kalau memang Pak Kadis tidak mengetahui hal-hal seperti itu, kenapa bisa berkelanjutan dari tahun 2022 sampai 2024? Masa kegiatan sebanyak itu, dari tahun ke tahun, beliau tidak tahu?” ujar Waspada usai sidang.
Menurutnya, tidak masuk akal jika seorang kepala dinas sama sekali tidak mengetahui kegiatan di bawah jajarannya, terutama ketika kegiatan tersebut jumlahnya mencapai ratusan dan tersebar di lima wilayah DKI Jakarta.
“Kalau cuma satu-dua kegiatan yang tidak diketahui, itu masih masuk akal. Tapi ini ratusan kegiatan, bahkan sampai ke Sudin-Sudin, masa bisa tidak tahu? Menurut saya, itu namanya melempar tanggung jawab. Nggak gentleman kalau begitu,” tegasnya.
Waspada juga menyatakan bahwa dana yang dikelola oleh kliennya sudah digunakan sebagaimana mestinya dan tidak ada unsur memperkaya diri secara pribadi. Ia menilai bahwa tuntutan jaksa yang menjerat Fairza dengan Pasal 2 UU Tipikor belum sepenuhnya tepat.
“Jaksa menuntut dengan Pasal 2, padahal unsur Pasal 2 itu ‘setiap orang’. Kalau Pasal 3 itu unsur kewenangan. Nah, pertanyaannya, posisi klien kami ini yang mana?” ucapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti perbedaan signifikan antara nilai kerugian negara yang disebutkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hasil audit resmi dari BPK.
“Jaksa bilang kerugian negara mencapai Rp1,4 miliar, tapi hasil BPK hanya sekitar Rp800 juta. Dari mana datangnya selisih itu? Ini angka yang berbeda jauh, dan kita juga jadi bingung mana yang benar,” jelas Waspada.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa BPK juga menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp5 miliar yang justru dinikmati oleh sejumlah pegawai di Dinas Kebudayaan.
“Artinya ada pihak lain yang ikut menikmati uang itu. Kalau memang mau menegakkan hukum, ya usut tuntas semuanya, jangan tebang pilih, Kalau masih ada tebang pilih seperti ini, pemberantasan korupsi ya susah untuk terwujud dengan baik,” tegasnya
Menanggapi jalannya sidang hari ini, Waspada menjelaskan bahwa Majelis Hakim ingin mempertegas posisi replik dan duplik atas pledoi pihaknya. Menurutnya, JPU berupaya agar tanggapan disampaikan secara lisan hari ini juga, dengan alasan batas waktu penahanan yang sudah hampir habis.
“Kalau batas waktu penahanan lewat, bisa bebas demi hukum. Jadi memang waktunya mepet sekali. Kalau JPU ajukan replik, kami berhak duplik. Lalu Hakim juga butuh waktu untuk musyawarah putusan,” ujarnya.
Dengan Jaksa tetap pada tuntutannya dan tidak mengajukan replik maka Majelis Hakim memutuskan untuk Sidang akan dilanjutkan dengan pembacaan putusan pada 30 Oktober 2025.
“Kami berharap majelis hakim bisa melihat perkara ini secara objektif, karena jelas sekali ada ketidakkonsistenan dalam fakta dan perhitungan kerugian negara,” pungkas Waspada Daeli.
(AR)