Jakarta, ebcmedia.id – Tim penasihat hukum terdakwa Dr. Djunaedi Saibih, S.H., M.Si., LLM membacakan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2025).
Dalam eksepsi setebal lebih dari 60 halaman itu, tim pembela menyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat hukum, tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum (null and void).
Dalam pembacaan eksepsi, kuasa hukum menegaskan bahwa dakwaan yang diajukan JPU tidak memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b dan ayat (3) KUHAP, serta bertentangan dengan asas peradilan yang adil dan due process of law.
Tim kuasa hukum menguraikan bahwa penetapan Djunaedi Saibih sebagai tersangka dilakukan sebelum Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, yakni sebelum keluarnya Surat Perintah Penyidikan.
“Penetapan tersangka yang dilakukan tanpa dasar penyidikan yang sah adalah bentuk pelanggaran serius terhadap asas pencarian kebenaran materiil,” ujar kuasa hukum Djunaedi dalam sidang.
Selain itu, tim kuasa hukum juga mempersoalkan penundaan dan penolakan oleh JPU terhadap permintaan pemeriksaan ahli psikologi forensik dan ahli kejiwaan, seperti Dr. Nathanael Sumampau dan Dr. dr. Natalia Widiasih Raharjanti, Sp.KJ, M.Pd.Ked. Hal ini, menurut kuasa hukum, merupakan bentuk pelanggaran hak terdakwa sebagaimana dijamin oleh Pasal 65 dan Pasal 116 KUHAP, serta menutup akses terdakwa terhadap keadilan (access to justice).
Dalam eksepsi juga dijelaskan bahwa JPU keliru menentukan subjek hukum (error in persona) karena tidak ada fakta yang menunjukkan keterlibatan Djunaedi Saibih dalam perbuatan sebagaimana didakwakan.
Menurut tim kuasa hukum, Djunaedi tidak pernah terlibat dalam proses penawaran jasa hukum kepada pihak korporasi, sebagaimana dituduhkan JPU. Justru, hubungan antara Djunaedi dan terdakwa lain terjadi setelah kesepakatan jasa hukum tercapai, dan komunikasi yang terjadi hanyalah dalam konteks profesional advokat.
“Peran Djunaedi adalah dalam kapasitasnya sebagai advokat dan akademisi, bukan pelaku suap atau gratifikasi,” tegas penasihat hukum.
Lebih lanjut, eksepsi menyebut surat dakwaan JPU kabur dan tidak cermat (obscuur libel) karena tidak menguraikan locus delicti, waktu kejadian, serta peran faktual terdakwa secara jelas.
Dakwaan juga tidak menggambarkan hubungan hukum antara tindakan yang disebutkan dengan diri terdakwa, sehingga menyulitkan pembelaan.
“Majelis dapat melihat bahwa dakwaan tidak menggambarkan fakta hukum, melainkan narasi yang tidak memiliki legitimasi yuridis,” demikian disebut dalam nota keberatan.
Kuasa hukum menilai JPU keliru memaknai tindakan terdakwa sebagai “rekayasa penanganan perkara”. Padahal, pengajuan gugatan oleh Djunaedi merupakan bagian dari hak konstitusional untuk mencari keadilan dan kebebasan berpendapat, bukan perbuatan pidana.
“Memidanakan tindakan advokat yang menggunakan hak hukum klien adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi publik (strategic lawsuit against public participation/SLAPP),” jelas kuasa hukum.
Eksepsi juga menilai dakwaan JPU prematur karena tidak didahului pemeriksaan oleh Dewan Kehormatan DPN Peradi. Seharusnya, dugaan pelanggaran etik advokat harus terlebih dahulu diproses di ranah profesi sebelum dijadikan dasar pidana.
“Dakwaan disusun tanpa dasar etik yang sah, sehingga prematur dan tidak memiliki kekuatan hukum,” tegas tim kuasa hukum.
Dalam bagian akhir, tim kuasa hukum memohon agar majelis hakim mengabulkan seluruh keberatan (eksepsi) dan menjatuhkan putusan sela dengan amar sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan eksepsi tim penasihat hukum terdakwa Djunaedi Saibih.
2. Menyatakan surat dakwaan JPU tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga batal demi hukum.
3. Menghentikan pemeriksaan perkara pidana terhadap Djunaedi Saibih.
4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI.
5. Memulihkan harkat dan martabat terdakwa dalam keadaan semula.
6. Melarang JPU melakukan penyidikan ulang atas perkara yang sama (ne bis in idem).
Sebagai penegasan moral, tim kuasa hukum menutup pembacaan eksepsi dengan kutipan ayat Al-Maidah ayat 8 tentang pentingnya menegakkan keadilan dan menghindari kebencian dalam menilai hukum, serta kutipan Prof. Muljono Reksodiputro, Dekan FH UI 1984–1999:
“Kita dapat mendisiplinkan diri untuk tidak melanggar hukum, tetapi tidak dapat menjamin bahwa kita akan bebas dari risiko menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.”tutupnya dalam pembacaan eksepsi
(AR)






