Jakarta, ebcmedia – Sepak terjang buzzer memang membuat kesal. Betapa tidak, demi kepentingan seseorang atau golongan, buzzer rela ‘menyerang’ orang yang berseberangan dengan orang atau golongan itu.
Terkait kebebasan pendapat tersebut, lantas bagaimana kaitan buzzer dengan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)? Apakah buzzer bisa disanksi pidana akibat mengeluarkan pendapat tajam di media sosial?
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hermanto menyatakan, soal buzzer memang seharusnya diatur di UU ITE.
“Tapi saya lebih cenderung ke penguatan etika dan moral. Karena sikap buzzer yang kontraproduktif berasal dari sikap sinisme. Sikap sinisme persoalan orang per orang,” ujanya kepada EBC Media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Hermanto mengakui, persoalan buzzer memang bukan permasalahan mudah. “Bukan pekerjaan sederhana. Karena ini menyangkut bangsa. Ada penduduk 275 juta jiwa. Bagaimana kita mengontrolnya,” terangnya.
Untuk mengatasi soal buzzer, sambungnya, kembali ke etika dan moral. “Intinya harus memiliki kesadaran. Dia (buzzer) harus tahu akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Nah, harus mengedepankan kepentingan besar yang harus dijaga dan menghilangkan sikap sinisme,” urai Hermanto.
Dia mengemukakan, permasalahan besar yang muncul, buzzer ini dibayar seseorang atau golongan yang mempunyai kepentingan.
“Ini persoalannya. Kalau dia (buzzer) dibayar, harus memproduksi konten sinis terus menerus. Kalau dia kurang aktif memproduksi berarti dia tidak terima bayaran. Tidak ada target,” cetusnya.
“Kalau (buzzer) yang dibayar, ini untuk kepentingan yang dibayar. Artinya, tidak menjadi personal sifatnya. Ini menjadi pesan orang yang membayar,” paparnya.
Dia berharap kedepan buzzer tidak dibutuhkan lagi. Menurutnya, yang dibutuhkan, setiap orang punya gagasan untuk mengajak orang berbuat baik dan bisa disampaikan di media.
“Kita juga berharap UU ITE ada deseminasi, sosialisasi yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat,” tegasnya.
“Kita punya pengalaman masa lalu yang mengotak-otakan orang. Jangan sampai nanti didesain kembali ke masa lalu,” tandasnya.
Hermanto menekankan pentingnya moralitas dan etika. Dengan moralitas dan etika, kelangsungan bangsa ini bisa berjalan secara damai dan tenang.
“Pembangunan bisa jalan, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Daripada ‘ramai’ terus menerus,” ucapnya. (Wan)