Jakarta, ebcmedia – Beragam dugaan pelanggaran yang dilontarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 3, Tri Rismaharini-Gus Hans, dalam sidang sengketa Pilgub Jatim kini dibalas oleh paslon nomor urut 2, Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak. Mereka melakukan serangan balik dalam agenda sidang mendengar keterangan pihak termohon, terkait, dan Bawaslu yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (18/1/2025).
Dalam sidang itu, kubu Khofifah-Emil Dardak yang diwakili kuasa hukum Edward Dewaruci tidak hanya membantah, tetapi juga menuding balik kubu Risma-Gus Hans dalam dalil pokok permohonan mereka.
Serangan balik kubu Khofifah-Emil Dardak terlihat dalam bantahan dalil politisasi bansos yang dituduhkan kubu Risma-Gus Hans. Khofifah-Emil Dardak berkilah bahwa bansos tidak lagi bisa dikendalikan karena jabatan sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur berakhir jauh sebelum proses pilgub berlangsung, yakni pada Februari 2024.
Orang yang tidak memiliki jabatan lumrahnya tidak bisa mengendalikan bansos untuk menaikkan perolehan suara seperti yang dituduhkan oleh Risma-Gus Hans. Bantahan ini juga didukung oleh KPU Provinsi Jawa Timur yang menyebut adanya surat edaran Kementerian Dalam Negeri RI yang meminta agar bantuan sosial yang berasal dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dihentikan sementara hingga proses pilkada berlangsung untuk menghindari politisasi bansos.
Kubu Khofifah-Emil Dardak menilai bahwa politisasi bansos justru menuding bahwa orang yang bisa merencanakan politisasi bansos adalah Risma, yang mengundurkan diri sebagai Menteri Sosial RI pada Agustus 2024. “Jika pun menggunakan asumsi tuduhan dari pemohon, maka yang bisa menggunakan bansos untuk memengaruhi perolehan suara adalah Mensos periode 2020-2024 yang lalu (Risma),” kata Edward.
Edward Dewaruci juga membantah tudingan kubu Risma-Gus Hans yang mendalilkan adanya kecurangan manipulasi Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilihan (Sirekap). Dalil Risma-Gus Hans dinilai tidak berdasar. Pasalnya, tidak ada manipulasi untuk menciptakan stabilitas persentase perolehan suara pihak terkait yang menggambarkan pola tidak wajar Sirekap.
Faktanya, KPU tidak pernah menampilkan grafik menunjukkan persentase dalam websitenya dalam proses Sirekap,” imbuh Edward. Ditambah, dalil Risma-Gus Hans dinilai tidak menyentuh substansi karena Sirekap bukanlah dasar keputusan hasil perolehan suara. “Demikian juga berdasarkan PKPU Nomor 5 Tahun 2024, Sirekap hanyalah alat bantu dan sarana transparansi kepada masyarakat dan bukan menjadi dasar penetapan hasil,” ucapnya.
(Dhii)