Jakarta, ebcmedia – Nama Tan Lie Pin, Komisaris PT Lawu Agung Mining (LAM), kembali menjadi sorotan dalam pusaran kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) hasil penjualan nikel ilegal di Blok Mandiodo, Konawe Utara. Dengan aliran dana yang ditaksir mencapai Rp 135,8 miliar, publik dan pegiat antikorupsi menuntut aparat penegak hukum untuk segera menyeret Tan Lie Pin ke meja hijau.
Tan Lie Pin diduga memainkan peran sentral dalam korupsi tambang nikel yang melibatkan PT Antam dan PT LAM. Sebagai komisaris, ia dituding mengetahui dan mengendalikan sejumlah aliran dana yang disamarkan melalui rekening yang dikuasainya secara pribadi.
Namun hingga kini, Tan Lie Pin beberapa kali mangkir dari panggilan sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta sebagai saksi kunci dalam kasus TPPU tersebut. Padahal, kejaksaan telah mengeluarkan perintah jemput paksa terhadap dirinya.
Kronologi Intimidasi terhadap Reporter
Kontroversi makin memanas ketika seorang reporter EBC Media yang hendak melakukan konfirmasi kepada Tan Lie Pin di salah satu kantor Notaris di Bilangan Jakarta Pusat, justru mendapat ancaman dari oknum yang diduga berasal dari lingkaran dekat Tan Lie Pin.
Ancaman tersebut terjadi saat reporter EBC mempertanyakan alasan ketidakhadiran Tan Lie Pin dalam agenda sidang TPPU yang digelar Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pekan lalu.
“Kami datang secara profesional untuk mengkonfirmasi keberadaan Tan Lie Pin dan status keterangannya. Namun salah satu pria dan seorang wanita yang diduga orang dekatnya justru berkata: ‘Kamu dari mana? kamu liput liput begini bisa kena UU ITE’,’’ ungkap salah satu wartawan EBC yang meminta namanya tidak disebutkan karena alasan keamanan.
Insiden tersebut memicu kekhawatiran akan kebebasan pers dan keselamatan jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan kasus korupsi kelas kakap.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya keberanian hukum dalam menindak pelaku korupsi dan upaya nyata untuk memastikan proses penegakan hukum tidak dikalahkan oleh tekanan kekuasaan atau uang.
Menguji Marwah Hukum dan Kepercayaan Publik
Ketidakhadiran Tan Lie Pin yang berulang kali ini memunculkan pertanyaan krusial, mengapa seseorang yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi dengan kerugian negara ratusan miliar rupiah dapat mengabaikan panggilan sidang tanpa konsekuensi yang jelas?
Ini bukan hanya tentang ketidakpatuhan individu, tetapi lebih jauh, ini mempertaruhkan marwah sistem peradilan dan mengikis kepercayaan publik terhadap integritas institusi penegak hukum, baik Kejaksaan maupun Kehakiman.
Penting untuk diingat, menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Keterangan saksi juga merupakan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. Dengan demikian, pengabaian kewajiban sebagai saksi adalah hal yang tidak dapat ditoleransi.
Bahkan, menolak hadir sebagai saksi tanpa alasan yang sah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, baik menurut KUHP yang berlaku saat ini, maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku penuh pada 2026
Maka dari itu, publik saat ini menantikan sikap tegas aparat penegak hukum dalam menghadirkan Tan Lie Pin. Apakah supremasi hukum akan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru kembali tunduk pada kekuatan modal dan kepentingan politik?
Jawabannya akan menjadi penentu arah penegakan hukum di Indonesia ke depan. Akankah ketidakhadiran Tan Lie Pin berlanjut, ataukah penegak hukum akhirnya menunjukkan taringnya
(Red)