Tapin, ebcmedia.id – Winda Asriany bersama dua kuasa hukumnya mendatangi Pengadilan Negeri Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, pada Rabu (23/7/2025), guna mengikuti proses Inzage. Proses ini memungkinkan para pihak berperkara untuk memeriksa dan memverifikasi berkas perkara, sebelum diajukan ke Mahkamah Agung pada tahap kasasi.
Winda dan suaminya, John Akang Saragih, merupakan pihak tergugat atas gugatan dari PT Kharisma Alam Persada (PT KAP) dalam perkara perdata Nomor 11/Pdt.G/2024/PN.Rta. Perkara ini menyangkut kepemilikan tanah seluas 7.409 meter persegi di Desa Margasari Hilir, Kecamatan Candi Laras Utara.
Namun, Winda menyoroti adanya kejanggalan dalam proses Inzage. Ia menyebut, surat panggilan dari PN Rantau bertanggal 17 Juli 2025 baru diterima secara fisik pada 21 Juli 2025. Sementara itu, tenggat waktu verifikasi berkas terakhir adalah 24 Juli 2025.
“Tidak sesuai dengan isi suratnya, di mana 7 hari kesempatannya. Dalam SOP di situs resmi PN Rantau malah disebutkan 14 hari. Jadi, antara SOP, tanggal surat, dan fisik surat yang saya terima itu semua tidak sinkron,” ujar Winda.
Ia mengaku telah menyampaikan ketidaksesuaian tersebut kepada petugas Pelayanan Hukum Perdata PN Rantau. Namun, petugas pun mengaku bingung dengan perbedaan yang terjadi.
Winda juga menyinggung putusan terkait Sertifikat Hak Milik (SHM) yang menyebutkan adanya perjanjian pinjam nama (nominee). Namun, saat meminta bukti fisik perjanjian tersebut, tidak ditemukan dalam dokumen perkara.
“Saya minta lihat bukti. Setelah dibongkar, ternyata tidak ada bukti perjanjian pinjam nama, dan juga tidak ditemukan berita acara pemeriksaan saksi yang menyatakan pinjam nama atas nama John Akang,” jelas Winda.
Kuasa Hukum Soroti Minimnya Transparansi
Frenky Siregar, kuasa hukum Winda, menyesalkan bahwa kliennya tidak bisa mengakses sistem E-Court, padahal seharusnya sistem tersebut bisa digunakan untuk verifikasi berkas.
“Kami sangat prihatin terhadap PN Rantau. Hak-hak klien kami sangat terzalimi, apalagi ini menyangkut proses kasasi,” tegasnya.
Frenky juga menyoroti adanya ketidaksesuaian antara bukti dalam sidang pemeriksaan setempat dengan yang tercantum dalam berkas Inzage. Menurutnya, BPN tidak memberikan hasil ukur yang jelas, dan hanya menunjukkan titik-titik lokasi tanpa menyebut luas lahan yang disengketakan.
Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Apriyani Sijabat, menambahkan bahwa pihaknya telah menyampaikan surat resmi kepada PN Rantau terkait kejanggalan tersebut, termasuk waktu Inzage yang dinilai terlalu sempit dan tidak sesuai SOP.
Klarifikasi Pengadilan Negeri Rantau
Dimas, juru bicara PN Rantau yang didampingi oleh Aulia, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), menyampaikan bahwa kegagalan akses E-Court disebabkan oleh gangguan sistem saat pengunggahan berkas.
“E-Court saat pengiriman berkas mengalami error, sehingga berkas tidak bisa diunggah. Oleh karena itu, kami bersurat kepada para pihak agar Inzage dilakukan secara manual,” jelas Dimas.
Terkait waktu pelaksanaan Inzage, Dimas mengacu pada PerMA 622 pasal 17 yang menetapkan waktu tujuh hari setelah pemberitahuan. Namun, untuk prosedur manual, batas waktunya adalah sebelum pengiriman berkas ke Mahkamah Agung.
Dukungan dari Tokoh Masyarakat Margasari Hilir
Perjuangan Winda Asriany juga mendapat dukungan dari warga setempat. Abah Aloy, tokoh masyarakat Desa Margasari Hilir, menyatakan bahwa tanah milik Winda saat ini dijaga oleh masyarakat setempat sebagai bentuk solidaritas.
“Tanah dari Bu Winda kami yang jaga. Kami anggap beliau sudah seperti keluarga,” ujar Abah Aloy.
Ia menyebut, tidak hanya Winda, tetapi juga warga lain yang mengalami nasib serupa karena lahannya digunakan oleh perusahaan tanpa kompensasi yang jelas.
“Kami dulu tahu betul batas-batas tanah perusahaan dan warga. Banyak tanah warga yang kini dikuasai tanpa ganti rugi,” tambahnya.
Tokoh lain, Kasan, menyebut ada sekitar 150 kepala keluarga yang tanahnya berstatus HGU tapi tidak pernah mendapat kompensasi sejak 2003. Upaya mediasi pun tidak pernah ditanggapi pihak perusahaan.
(Dhii)