Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy, Jumat (7/11/2025).
Sidang kali ini menghadirkan dua saksi ad a charge juga diperiksa dalam persidangan ini, yakni Evi Lusiana dan Maria Theresia Goreti, yang merupakan eks karyawan PT Petro Energy. Selain itu, hadir juga ahli yang diajukan oleh pihak terdakwa, yaitu Prof. Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta Prof. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., ahli hukum kepailitan dan PKPU dari Universitas Airlangga.
Dalam keterangannya, Prof. Hadi Subhan menjelaskan secara rinci konsep Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan sebagai mekanisme hukum untuk penyelesaian utang debitur secara kolektif.
“PKPU bertujuan memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi dan menawarkan perdamaian kepada para kreditur,” jelas Prof. Subhan di hadapan majelis hakim.
Ia menambahkan, selama PKPU berlangsung, debitur tidak boleh melakukan pembayaran kepada kreditur mana pun karena seluruh kewajiban tertunda oleh hukum. Jika perdamaian disetujui mayoritas kreditur dan disahkan pengadilan, maka semua kreditur terikat pada kesepakatan tersebut. Namun bila perdamaian ditolak, debitur otomatis dinyatakan pailit. Lebih lanjut, Prof. Hadi menegaskan bahwa kepailitan merupakan sita umum atas seluruh harta kekayaan debitur.
“Kepailitan adalah mekanisme penyelesaian kolektif. Sejak putusan pailit dijatuhkan, semua sita pribadi maupun sita pidana terhadap harta debitur tidak lagi berlaku,” ujarnya.
Terkait utang yang dijamin pihak ketiga, Prof. Subhan menjelaskan bahwa penanggung (guarantor) tetap berkewajiban membayar tanpa perlu izin kurator, karena hal itu tidak termasuk harta pailit dan justru menguntungkan proses pemberesan.
Selanjutnya, majelis hakim mendengarkan keterangan Prof. Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., ahli hukum pidana yang memberikan pandangan mengenai batas pertanggungjawaban pidana dalam perkara korupsi. Prof. Huda menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan di luar kewenangan atau kapasitasnya.
“Tidak mungkin seseorang dikonstruksikan memiliki hubungan penyertaan jika ia bukan alamat dari aturan yang dilanggar,” ujarnya.
Ia menegaskan, hanya mereka yang menjadi sasaran langsung dari norma hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Lebih lanjut, Prof. Huda membedakan antara konsep turut serta (medeplegen) dengan bersama-sama (co-perpetration).
“Konsep ‘bersama-sama’ tidak identik dengan ‘turut serta’. Dalam hukum pidana bahkan dikenal pula perbuatan bersekutu yang merupakan kategori tersendiri,” jelasnya.
Ahli juga menjelaskan bahwa permufakatan jahat (samenspanning) hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kualitas sama sebagai pelaku. Jika seseorang tidak memiliki kualitas itu, maka ia tidak bisa dimasukkan sebagai peserta tindak pidana sedangkan mengenai unsur kerugian keuangan negara, Prof. Huda menegaskan bahwa yang berwenang menetapkan ada tidaknya kerugian negara adalah auditor negara.
“Pengembalian dana sebelum adanya audit tidak dapat dikategorikan sebagai pengembalian kerugian negara, melainkan hanya pembayaran utang,” terangnya.
Chairul juga menyoroti UU Tipikor Bersifat Pembatas dan Asas Lex Mitior, jadi menurutnya undang-undang ini bersifat restrictive atau pembatasan, bukan perluasan kewenangan. Karena pada saat ini semua hal bisa masuk dalam ketegori korupsi apabila tidak ditafsirkan secara spesifik.
“Pelanggaran terhadap undang-undang lain tidak serta-merta dikualifikasikan sebagai korupsi, kecuali disebut secara tegas,” tegasnya.
Dalam konteks pembaruan hukum, ia menyinggung Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang memperjelas pemisahan antara kerugian BUMN dan kerugian negara, sesuai asas lex specialis dan lex mitior.
“Kerugian BUMN adalah kerugian BUMN, bukan keuangan negara. Undang-undang baru ini justru bertujuan membatasi perluasan tafsir delik korupsi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa hukum yang lebih baru dan lebih menguntungkan terdakwa harus diterapkan.
“Asas lex mitior adalah jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara,” tambahnya.
Menutup keterangannya, ahli Chairul mengingatkan bahwa tujuan utama pemberantasan korupsi bukan hanya pemidanaan, tetapi juga pemulihan aset negara (asset recovery), sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
“Apabila masih tersedia mekanisme administratif atau perdata yang dapat digunakan untuk memulihkan kerugian, maka penggunaan instrumen pidana harus dihindari,” pungkasnya.
Usai persidangan, kuasa hukum terdakwa, Soesilo Aribowo, S.H., memberikan tanggapan terhadap keterangan ahli yang menurutnya semakin memperjelas perkara ini. Ia menilai bahwa terdapat tumpang tindih antara proses pidana dan kepailitan dalam perkara ini.

“Sekarang PT Petro Energy sedang dalam keadaan pailit. Artinya, telah terjadi sita umum, sehingga tidak boleh ada penyitaan lain, termasuk yang dilakukan dalam perkara pidana, sebelum kepailitan selesai atau diangkat,” jelas Soesilo.
Menurutnya, tindakan penyitaan yang dilakukan selama proses kepailitan berpotensi menimbulkan benturan hukum, karena semestinya seluruh aset dikelola oleh kurator. Ia juga menyoroti bahwa utang yang diambil alih atau dibayar oleh pihak ketiga tidak perlu persetujuan kurator, sebab hal itu justru menguntungkan harta pailit.
Selain itu, Soesilo menegaskan bahwa dalam masa PKPU, seluruh bunga dan denda seharusnya dihentikan sementara, namun dalam praktiknya PT Petro Energy tetap melakukan pembayaran bunga, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip penundaan kewajiban pembayaran utang.
“Ahli tadi juga menjelaskan, dalam praktik PKPU, tingkat pemulihan atau recovery rate biasanya hanya sekitar 20 persen. Artinya, pembayaran sebagian saja sudah cukup untuk restrukturisasi, tanpa harus masuk ke ranah pidana,” tutupnya.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Brelly Yuniar Dien Wardi menyatakan bahwa seluruh keterangan saksi dan ahli akan menjadi pertimbangan penting dalam menilai unsur perbuatan melawan hukum dalam perkara ini.
(AR)







