Kuasa Hukum PGN Tegaskan Transaksi dengan Isargas Adalah Keputusan Bisnis, Bukan Korupsi

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dalam kerja sama jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGN) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). Agenda sidang hari ini yakni keterangan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Foto: AR

Saksi yang dihadirkan hari ini melalui daring, Nusantara Suyono, mantan Direktur Keuangan PGN Nusantara yang bertugas di Singapura, memberikan penjelasan mengenai prosedur pembelian gas dan mekanisme pengambilan keputusan di tubuh PGN. Dua terdakwa dalam perkara ini adalah Danny Praditya dan Iswan Ibrahim, yang saat itu menjabat sebagai Direksi PGN.

Namun, kuasa hukum terdakwa Danny Praditya, FX Michael Shah, menilai keterangan saksi justru menegaskan bahwa transaksi PGN–Isargas merupakan kerja sama bisnis yang sah, bukan tindakan korupsi sebagaimana didakwakan oleh JPU.

Dalam sidang, Suyono menjelaskan bahwa setiap pembelian gas oleh PGN dilakukan berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP) dan harus mendapat persetujuan Direksi secara kolektif. Tim koordinasi lintas divisi dibentuk untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum dan regulasi, melibatkan unsur divisi legal, corporate secretary, dan divisi komersial.

“Setiap pembelian gas harus disetujui Direksi dan dikawal oleh tim lintas divisi agar kepentingan PGN terlindungi,” ujar Suyono dalam sidang.

Menanggapi hal itu, FX Michael menilai pernyataan tersebut memperjelas bahwa seluruh proses telah mengikuti tata kelola perusahaan (good corporate governance).

“Ini bukan keputusan pribadi. Semua melalui rapat Direksi, analisis risiko, dan kajian legal. Jadi tidak ada pelanggaran hukum,” ujarnya kepada wartawan usai persidangan.

Salah satu isu yang kerap disoroti jaksa adalah terkait status pembayaran kepada Isargas. Dalam persidangan, Suyono menegaskan bahwa pembayaran tersebut dicatat sebagai advance payment (uang muka) dalam laporan keuangan.

“Pembayaran itu merupakan bagian dari transaksi jual beli gas, bukan pelunasan utang pihak lain,” terang saksi.

FX Michael kemudian menegaskan bahwa hal ini merupakan praktik bisnis yang lazim di industri gas. Menurutnya, kesalahan penafsiran atas istilah advance payment oleh penuntut umum membuat transaksi yang sah secara komersial seolah-olah tampak mencurigakan secara hukum.

“Advance payment adalah mekanisme umum dalam kontrak gas. Sama halnya dengan PGN bekerja sama dengan perusahaan gas swasta lainnya, bahkan tanpa jaminan,” jelasnya.

Jaksa juga sempat mempertanyakan alasan PGN tetap melakukan kerja sama dengan Isargas meski kondisi keuangan perusahaan tersebut dianggap lemah.

Menjawab hal itu, saksi menyatakan bahwa Isargas memiliki sumber gas yang nyata dan terverifikasi dari HCML (Husky-CNOOC Madura Limited) dengan kapasitas hingga 40–50 MMSCFD, di mana 15 MMSCFD dialokasikan untuk perjanjian dengan PGN.

“Ini bukan pinjam-meminjam, tapi kontrak jual beli gas. Yang penting ada pasokan gas, bukan laporan keuangan Isargas,” kata Suyono.

FX Michael memperkuat pandangan itu dengan menilai bahwa penilaian jaksa terhadap kondisi keuangan Isargas tidak relevan secara hukum maupun bisnis.

“PGN tidak membeli perusahaan, tapi membeli gas. Jadi yang dilihat adalah volume dan harga, bukan neraca keuangan Isargas,” ujarnya menegaskan.

FX Michael juga menekankan bahwa keputusan pembelian gas dengan Isargas merupakan hasil rapat Direksi PGN secara kolektif, bukan keputusan sepihak dari Danny Praditya.

“Setiap keputusan Direksi bersifat kolektif. Kalau ada satu direktur saja tidak setuju, transaksi tidak bisa dijalankan. Semua sudah dibahas, termasuk mitigasi risiko hukum,” katanya.

Suyono dalam sidang juga menegaskan bahwa mitigasi risiko, termasuk jaminan fidusia senilai Rp16 miliar, telah menjadi bagian dari perjanjian dengan Isargas dan dapat dieksekusi jika terjadi gagal bayar.

Menurut FX Michael, penting bagi publik dan penegak hukum untuk memahami konteks bisnis PGN pada tahun 2017.
Saat itu, PGN menghadapi ancaman kehilangan pelanggan akibat keterbatasan pasokan gas dan sulitnya memperoleh alokasi dari SKK Migas.

“PGN dihadapkan pada situasi kompetitif. Kalau tidak cepat mengamankan sumber gas, bisa kalah dari trader swasta seperti Panaraya dan Isargas yang menguasai pasar,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa keputusan melanjutkan kontrak senilai USD 228 juta untuk enam tahun ke depan adalah strategi bisnis untuk mempertahankan pangsa pasar PGN, bukan perbuatan melawan hukum.

Dalam penutup keterangannya, FX Michael menyampaikan bahwa perkara ini tidak seharusnya ditarik ke ranah pidana, karena substansinya merupakan keputusan bisnis berbasis risiko dan urgensi operasional.

“Kami menghormati proses hukum, tapi kami juga ingin penegak hukum memahami konteks bisnis. Tidak setiap keputusan yang berisiko berarti korupsi,” ujarnya.

Ia menilai, kegagalan proyek atau perubahan kebijakan setelah 2019 tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai keputusan Direksi periode 2017–2018.

“Keputusan itu diambil dengan itikad baik, sesuai prosedur, dan berdasarkan kebutuhan nasional. Direksi lama sudah tidak menjabat saat kebijakan berubah. Menilai masa lalu dengan kacamata hari ini jelas tidak adil,” pungkasnya.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan masih dengan agenda mendengarkan saksi Jaksa berikutnya sebelum memasuki tahap pemeriksaan terhadap para terdakwa.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.