Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara dugaan pelanggaran terkait pemasangan patok di area Izin usaha milik PT Wana Kencana Sejati (WKS), Rabu (5/11/2025). Agenda persidangan hari ini adalah pemeriksaan ahli dari pihak terdakwa.

Dua terdakwa dalam perkara ini yaitu Awwab Hafizh selaku Kepala Teknik Tambang dan Marsel Bialembang selaku Mining Surveyor PT Wana Kencana Mineral (WKM).
Dalam persidangan tersebut, tim kuasa hukum OC Kaligis menghadirkan Dr. Oheo K. Haris, S.H., M.Sc., LL.M., ahli hukum pidana dari Universitas Kendari, yang memberikan pandangan mendalam terkait penerapan pasal dan prosedur hukum dalam perkara ini.
Dr. Oheo menegaskan bahwa tuduhan terhadap para terdakwa tidak memenuhi unsur pasal yang didakwakan. Menurutnya, tindakan pemasangan pagar batas wilayah IUP (Izin Usaha Pertambangan) oleh pihak perusahaan tidak dapat dikategorikan sebagai pendudukan lahan.
“Dalam konteks hukum pidana, menduduki berarti menempati secara terus-menerus. Fakta menunjukkan pagar hanya dipasang sementara, tidak dijaga, dan tidak ada unsur penguasaan permanen,” jelas Oheo di hadapan majelis hakim.
Ahli juga menilai bahwa pemasangan patok oleh Kepala Teknik Tambang (KTT) merupakan pelaksanaan tugas resmi berdasarkan peraturan perusahaan, bukan perbuatan melawan hukum. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut dilakukan atas perintah atasan dan dalam rangka menjaga batas wilayah izin operasi yang sah.

Lebih jauh, Oheo menyoroti adanya kekeliruan dalam proses penyidikan. Ia menjelaskan, perubahan dan penambahan pasal dalam dakwaan tanpa disebutkan sejak awal dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak tersangka.
“Tersangka berhak mengetahui sejak awal pasal apa yang disangkakan kepadanya. Ketidaksesuaian antara BAP dan dakwaan membuat dakwaan cacat hukum,” tegasnya.
Selain itu, ia menilai barang bukti yang diajukan pihak pelapor tidak relevan karena tidak sesuai dengan lokasi perkara. Menurutnya, setiap bukti harus memiliki kesesuaian locus dan tempus delicti agar memiliki nilai pembuktian yang sah.
Sementara itu, tim kuasa hukum terdakwa yang dipimpin advokat senior Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H. dan Einro Porman Pakpahan, SH menilai bahwa perkara ini sarat kejanggalan dan menunjukkan adanya kriminalisasi terhadap klien mereka.
“Kami melihat klien kami justru berupaya melindungi wilayahnya yang sah, bukan melakukan perambahan atau pertambangan ilegal. Pihak yang sebenarnya menebang dan menggali tanpa izin adalah PT Posision,” ujar OC Kaligis usai sidang.
Ia menjelaskan, dalam fakta persidangan terungkap bahwa PT. WKS memiliki dasar hukum yang kuat melalui perjanjian kerja sama dengan PT Posision, termasuk Rencana Kerja Tahunan (RKT) tahun 2024 yang disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun, pihaknya menyayangkan ketidakhadiran saksi utama dari PT RKS dan PT Posision yang telah berulang kali mangkir dari panggilan sidang.
“Saksi sudah lima kali dipanggil, tapi selalu beralasan sakit. Ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga bentuk kejahatan jabatan sebagaimana Pasal 421 KUHP,” tegasnya.
Porman menambahkan, banyak kejanggalan dalam proses penyidikan, termasuk adanya dua BAP dengan isi identik hingga tanda baca, hanya berbeda nama saksi.
“Ini menunjukkan dugaan kuat adanya manipulasi dalam BAP. Kebenaran tidak bisa lahir dari dokumen yang tidak kredibel,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa hak tersangka untuk menghadirkan saksi yang meringankan diabaikan, bahkan barang bukti yang diserahkan direktur utama PT WKS tidak dimasukkan ke dalam berkas perkara.
Dalam bagian akhir keterangannya, tim kuasa hukum menilai penegakan hukum dalam perkara ini tidak imbang.
“Yang kuat tidak tersentuh, yang lemah justru dikorbankan. Karyawan yang hanya menjalankan tugas kini harus duduk di kursi terdakwa, sementara pihak yang jelas-jelas menebang dan menggali tanpa izin tidak pernah diperiksa,” kata OC Kaligis dengan nada tegas.
Sidang ditutup dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi yang dijadwalkan pekan depan. Tim Kuasa hukum berharap majelis hakim dapat menegakkan prinsip keadilan substantif dengan mempertimbangkan keterangan ahli dan fakta persidangan yang telah terungkap.
(AR)








