Jakarta, ebcmedia – Mahkamah Agung (MA) pada 11 Maret 2025 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Aneka Tambang (Antam) dalam perkara perdata melawan pengusaha Budi Said. Dalam putusan PK Nomor 815 PK/Pdt/2024 itu, MA menyatakan bahwa kekurangan jual beli emas yang disengketakan bukan menjadi tanggung jawab PT Antam.
Putusan ini sekaligus membatalkan Putusan Mahkamah Agung sebelumnya Nomor 1666 K/Pdt/2022 dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tertanggal 20 Februari 2025, yang menyatakan bahwa PT Antam harus mengganti kekurangan sebesar 1.136 kg emas kepada Budi Said. Kala itu, PT Antam dianggap telah merugikan negara karena harus menyerahkan emas dalam jumlah besar sebagai kewajiban pembayaran tambahan.
Dengan putusan PK terbaru ini, tidak ada lagi dasar hukum bagi PT Antam untuk melakukan pembayaran tersebut, sehingga kerugian negara yang semula dikaitkan dengan putusan sebelumnya menjadi nihil.
Menariknya, dalam pertimbangan hukum MA, tindakan penipuan dalam kasus ini dinyatakan hanya dilakukan oleh oknum internal PT Antam secara pribadi, tanpa keterlibatan langsung dari perusahaan ataupun pihak luar. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa PT Antam sebagai badan usaha tidak memikul tanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat ulah oknum tersebut.
Menanggapi putusan ini, Ahli Hukum Keuangan Publik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Simatupang, menilai bahwa keputusan PK telah menghapus kewajiban pembayaran dari PT Antam dan sekaligus membatalkan asumsi kerugian negara.
“Putusan PK membatalkan dasar hukum yang menyebabkan munculnya pidana tambahan dan kerugian negara. Ini menegaskan bahwa kerugian yang semula diklaim menjadi tanggung jawab PT Antam tidak lagi relevan,” ujar Dr. Dian.
Namun, ia juga mengkritisi ketidakpastian hukum mengenai definisi kerugian negara yang kerap berubah-ubah. “Pemaknaan kerugian negara yang dikaitkan dengan nilai dalam putusan pengadilan sangat problematik, karena pengadilan bukan pelaku perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Menurut Dr. Dian, putusan ini juga harus dilihat dalam konteks hukum yang lebih luas, termasuk status hukum anak perusahaan BUMN. Ia menegaskan bahwa transaksi antara PT Antam dan Budi Said tidak melibatkan fasilitas pemerintah seperti subsidi atau insentif pajak, sehingga tidak dapat disebut sebagai kerugian negara.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kekayaan BUMN bukan merupakan kekayaan negara, sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU BUMN.
“Seharusnya penyelesaian perkara seperti ini berada di ranah hukum perdata, bukan pidana korupsi,” katanya.
Putusan ini dinilai memperjelas bahwa dalam konteks transaksi bisnis BUMN, penyelesaian hukum sebaiknya berlandaskan hukum korporasi dan bukan hukum pidana. Dr. Dian pun mendesak Mahkamah Agung untuk memberikan pedoman yang lebih tegas agar badan peradilan tidak lagi memutuskan kerugian negara secara keliru.
“MA dan MK perlu saling memperkuat posisi hukum terkait definisi dan cakupan kerugian negara, agar tidak terjadi lagi kekacauan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak,” pungkasnya.
Dengan keputusan ini, PT Antam terbebas dari beban pembayaran tambahan dan negara tidak mengalami kerugian sebagaimana yang sebelumnya dinyatakan dalam putusan pengadilan sebelumnya.
(Dhii)