Jakarta, ebcmedia.id – Kuasa hukum Mayjen TNI (Purn) Adam Rachmat Damiri, Deolipa Yumara, menemukan novum tentang kekhilafan hakim yang serius dalam pertimbangan hukum, untuk memutus perkara Asabri kepada Adam Rahmat Damiri.
Menurutnya, hakim telah “menyamakan” kerugian negara era kepemimpinan Adam Damiri (2012–2016) dengan periode Direktur Utama berikutnya, Sony Wijaya (2016–2019).
Fakta persidangan yang diabaikan, kata Deolipa, justru membuktikan perbedaan mencolok. Dari total kerugian negara yang kerap disebut Rp22,7 triliun, hanya Rp2,6 triliun yang muncul pada masa Adam Damiri. Selebihnya, lebih dari Rp20 triliun, terjadi di periode kepemimpinan Sony Wijaya.
“Hakim keliru besar ketika menyatukan angka kerugian. Tidak mungkin ada dua Dirut dalam satu perseroan. Direktur Utama bertanggung jawab hanya sesuai periode jabatannya. Saham-saham yang ditempatkan di masa Sony malah dihitung seolah-olah kerugian di masa Pak Adam. Ini menyesatkan,” kata Deolipa.
Ia menyoroti bahwa sejumlah saham yang dijadikan dasar perhitungan kerugian negara di era Adam Rahmat Damiri justru mendapatkan keuntungan dan saham tersebut masih milik Asabri.
Lebih jauh, Deolipa mengungkap adanya perbedaan pandangan di tubuh majelis hakim sendiri. Hakim anggota Mulyono menyampaikan dissenting opinion bahwa kerugian Asabri bersifat potensial, belum nyata dan pasti. Tetapi pendapat itu diabaikan, sehingga vonis tetap dijatuhkan seolah kerugian negara bersifat absolut.
“Vonis ini sama saja setara dengan menjatuhkan hukuman mati bagi seorang perwira tua. Pak Adam sudah 74 tahun ketika divonis di tingkat pertama, kini 76 tahun. Sedangkan kerugian negaranya bersifat potensial dan tidak nyata dan pasti kata hakim Mulyono dalam Disenting Opinion, Inikan dzalim,” ujar Deolipa.
Deolipa menegaskan, penyamaan kerugian negara lintas periode merupakan cacat hukum yang harus dikoreksi. Menurutnya, mengabaikan fakta persidangan dan dissenting opinion hakim jelas merusak keadilan.
“Jika kerugian era Adam hanya Rp2,6 triliun, jangan dipaksa digabung dengan kerugian Rp20 triliun lebih di era Sony. Vonis seperti ini bukan hanya tidak adil, tapi juga menyesatkan publik,” pungkasnya.
(Dhii)