Jakarta, ebcmedia – Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM, terhadap para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) yang terjadi sejak sekitar tahun 1970-an.
Wakil Menteri HAM Mugiyanto Sipin, menyampaikan, bahwa temuan ini merupakan hasil pendalaman aduan dari sembilan orang mantan pemain OCI yang masuk pada Selasa (15/4/2025), melalui Tim Tindak Lanjut Penanganan Aduan HAM.
“Apa yang pernah dialami para mantan pemain OCI, sebagaimana diceritakan kepada kami, tidak boleh lagi terjadi di masa depan,” ujar Mugiyanto dalam konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Pelanggaran Hak Anak Jadi Temuan Utama
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan, menjelaskan, bahwa salah satu bentuk dugaan pelanggaran adalah pelanggaran terhadap hak anak.
Yaitu, khususnya hak untuk mengetahui asal-usul, identitas, hubungan keluarga, dan orang tua kandungnya.
Selain itu, para mantan pemain OCI juga diduga tidak mendapatkan hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi.
Antara lain, akses terhadap pendidikan umum yang layak, jaminan masa depan, perlindungan keamanan, serta jaminan sosial.
Kementerian HAM, kata dia, juga menerima aduan tentang kekerasan fisik yang dapat mengarah pada penganiayaan.
Kemudian, kekerasan seksual oleh pihak tertentu, serta dugaan praktik perbudakan modern yang dialami para korban.
Kementerian HAM Anggap Kasus Ini Kompleks
Dari hasil investigasi, diketahui bahwa OCI menerima penyerahan anak-anak dari orang tua mereka untuk dibesarkan oleh keluarga pendiri sirkus.
“Sejak usia 2 hingga 6 tahun, anak-anak ini ditampung di beberapa rumah milik HM dan dilatih menjadi pemain sirkus,” ungkap Munafrizal.
Menurutnya, anak-anak itu dipisahkan dari orang tuanya dengan janji akan diangkat sebagai anak.
Namun, mereka tidak disekolahkan secara formal karena harus berkeliling tampil di berbagai daerah.
“Bahkan dalam kondisi sakit atau hamil, para pemain sirkus tetap dipaksa bekerja,” tambahnya.
Tidak Mendapat Upah Layak & Layanan Kesehatan
Mereka, lanjutnya, juga tidak mendapat upah layak maupun layanan kesehatan memadai, padahal pekerjaan mereka berisiko tinggi, seperti melakukan atraksi di ketinggian hingga 15 meter.
Kementerian HAM pun menyoroti, ketidakjelasan status hukum OCI dan tahun berhentinya operasional.
Lebih lanjut, para pelapor menyebut ada keterkaitan antara OCI dan Taman Safari Indonesia, sementara pihak teradu membantah adanya hubungan itu.
“Namun, berdasarkan pemberitaan media cetak tahun 1997, nama yang digunakan dalam beberapa konteks adalah ‘Oriental Circus Taman Safari’,” kata dia.
Ia juga menambahkan, kasus ini tergolong kompleks karena menyangkut rentang waktu panjang.
Selanjutnya, identifikasi subjek hukum, pembuktian, serta kondisi psikologis dan sosial korban hingga saat ini.
“Kementerian HAM menilai perlu adanya pendekatan multidimensi yang melibatkan aspek hukum, sosial, psikologis, dan etis guna memastikan keadilan bagi para korban,” pungkasnya.
(Red)