Sinyal Bahaya Normalisasi Kekerasan, Tanggung Jawab Pimpinan Komando dan Kapolri

oleh -267 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Meskipun telah banyak laporan kekerasan polisi selama aksi Peringatan Darurat berlangsung yang dikeluarkan kelompok masyarakat sipil, Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri Irjen Pol. Abdul Karim pada tanggal 28 Agustus 2024 mengatakan bahwa hasil evaluasi divisinya menyatakan aparat kepolisian sudah melakukan pengamanan sesuai SOP yang ditatur di dalam Peraturan Kapolri 2009.

“Ini menunjukkan bahwa kepolisian, khususnya mereka yang memegang komando tertinggi, terkesan menormalisasi penggunaan kekerasan dalam penanganan aksi damai dengan mengatakan semuanya sudah sesuai SOP. Ini merupakan sinyal bahaya bagi penegakan HAM,” kata Usman.

“Normalisasi ini merupakan bentuk pilihan kebijakan atasan yang membiarkan terjadinya kekerasan. Hal ini terbukti bahwa jika anggota polisi ada yang melakukan kekerasan maka akan mendapat pembelaan dari atasan. Jadi pola kekerasan ini terus dijaga lewat impunitas pelaku di lapangan yang mendapat perlindungan dari pimpinan tertinggi mereka,” tambah Usman.

Kekerasan aparat tidak akan terjadi jika pimpinan mereka ataupun pejabat eksekutif yang mengawasi kepolisian melakukan kontrol atas kerja-kerja polisi. Keberulangan pola-pola kekerasan polisi dalam menangani aksi demonstrasi mengindikasikan bahwa komandan atau petinggi mereka bertanggung jawab baik secara langsung maupun tidak langsung karena mereka gagal menjalankan tugas mereka dalam mencegah terjadinya aksi kekerasan polisi. Walaupun mereka tidak secara langsung memerintahkan aksi kekerasan tersebut, minimal mereka bersikap toleran terhadap aksi kekerasan oleh bawahan mereka yang sangat jelas melanggar HAM.”

“Temuan Amnesty pada 2020 lalu juga mengkonfirmasi kekerasan polisi dalam demo menolak Omnibus Law dan saat itu kepolisian mengatakan mereka telah melaksanakan SOP. Setelah aksi Peringatan Darurat Agustus lalu, Propam juga mengatakan polisi bekerja telah sesuai SOP sekalipun bukti-bukti kekerasan sangat terang benderang. Sekali lagi ini merupakan normalisasi penggunaan kekerasan berlebihan dan Kapolri sebagai pimpinan tertinggi memilih untuk tidak melakukan evaluasi yang mendalam dan menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya keberulangan kekerasan baik pada level praktik maupun pada pilihan kebijakan yang membiarkan kekerasan terjadi. Oleh karena itu, Kapolri juga turut serta bertanggung jawab sebagai pimpinan tertinggi Polri.”

Meskipun benar bahwa dilaporkan terjadi kerusakan yang signifikan terhadap properti, serta cedera pada personel polisi, ketidakseimbangan dalam jumlah cedera yang dialami oleh peserta aksi, serta studi kasus dan bukti visual menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional secara berulang-ulang merupakan suatu bentuk kebijakan polisi dan tidak serta merta hanya merupakan tanggung-jawab aparat di lapangan yang melakukan kekerasan yang tidak mengindahkan perintah komandan mereka.

Kebijakan ini, yang dibuat oleh petinggi-petinggi Polri, memandang bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan yang diperlukan untuk memulihkan “ketertiban umum”, menghukum pengunjuk rasa dan mengakhiri demonstrasi dengan cara papun.

“Melihat bukti-bukti kekerasan yang terjadi sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa rangkaian kegagalan dari komandan polisi yang jauh dari unsur ketidaksengajaan merupakan suatu bentuk kelalaian berulang yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” lanjut Usman Hamid.

(Dhii)

No More Posts Available.

No more pages to load.