Jakarta,ebcmedia-Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, keberadaan Undang-Undang Omni Buslaw bidang Kesehatan, yang telah disahkan oleh DPR beberapa hari lalu, dalam banyak hal harus disorot (diprotes) dengan keras.
Tulus menyebutkan, salah satu hal yang mengantongi cacat fatal pada UU Kesehatan adalah ketentuan pada Pasal 151 ayat (3), yang “mewajibkan” adanya fasilitas atau tempat khusus untuk merokok (smoking room) pada tempat umum dan tempat kerja.
“Ketentuan yang diatur pada Pasal 151 ayat (3) ini kelihatannya sepele, tetapi secara fundamental pasal ini cacat secara normatif, ideologis, dan bahkan etik moral,” kata Tulus melalui siaran pers yang diterima redaksi ebcmedia.id, Sabtu (15/7/2023)
Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin aktivitas penggunaan zat adiktif (merokok) yang notabene menyakiti atau merusak dirinya dan orang lain, bahkan merupakan aktivitas bunuh diri, tetapi harus disediakan infrastruktur atau fasilitas khusus?
Tulus berpandangan, dari perspektif apa pun ketentuan ini adalah sesat pikir, alias keblinger. Dikhawirkan akibat ketentuan ini orang yang menggunakan minuman beralkohol (miras) juga menuntut hak yang sama. Mereka menuntut adanya ruang khusus untuk minum dan mabuk.
“Tembakau atau rokok dan minuman beralkohol atau miras (yang legal) sama sama benda, komoditas yang kena cukai,” jelasnya.
Dari perspektif ekonomi, sambungnya, ketentuan ini juga akan menggerus aspek finansial. Karena pengelola tempat umum atau tempat kerja harus membangun atau menyediakan ruang khusus untuk merokok. Tentunya sangat kontra produktif ten
Tulus menguraikan, Pasal 151 ayat (3) diduga keras adalah pasal titipan dari industri rokok. Dan ini bukti UU Kesehatan tidak lepas dari intervensi oligarki industri rokok. Sebuah industri yang memerosotkan kualitas sumber daya manusia.
“Tapi disembah dan dipuja begitu rupa oleh negara,” tukasnya.
Tulus menilai ketentuan ini sungguh keblinger, untuk menjadi sehat malah dihalangi-halangi oleh negara. Negara justru mendorong, memfasilitasi dan menjustifikasi aktivitas bunuh diri oleh warganya dengan zat adiktif.
“Inilah sesat pikir dari UU Kesehatan pada aspek pengendalian tembakau. Pasal 151 ayat (3) yang sesat pikir ini harus segera dicabut, tentunya melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK),” pungkasnya. (Rif)