Jakarta, ebcmedia – Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro menjelaskan, pihaknya melakukan penyusunan kajian dalam rangka melakukan evaluasi dan memberikan saran perbaikan terhadap pelaksanaan pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dilakukan oleh Gugus Tugas Pencegahan TPPO.
“Hal yang melatarbelakangi kajian ini adalah jumlah korban TPPO yang terus meningkat setiap tahunnya dengan beragam modus operandi dan korban yang berasal dari berbagai kelas ekonomi dan Pendidikan. Serta meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri,” ucap Johanes dalam keterangan tertulisnya.
Dia mengatakan, Ombudsman RI telah melakukan pengumpulan informasi dan data di beberapa wilayah yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Selain itu, kata dia, pengumpulan data dan informasi juga melibatkan instansi pusat, organisasi nonpemerintah serta korban TPPO.
Dilansir dari laman IslamToday.id Johanes menyampaikan beberapa modus TPPO, yakni eksploitasi seksual, eksploitasi Anak Buah Kapal (ABK), eksploitasi Pekerja Migran Indonesia (PMI), pemagangan, pengantin pesanan yakni tawaran menikah dengan orang asing dan dijanjikan kehidupan mapan di negara asal calon suami, eksploitasi anak dan eksploitasi transplantasi organ tubuh.
Kemudian ia menguraikan, temuan Ombudsman pada aspek sosialisasi dan edukasi pencegahan TPPO di antaranya belum semua daerah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) PP TPPO, tidak adanya anggaran yang dimiliki oleh daerah untuk Gugus Tugas TPPO, khususnya anggaran terkait kegiatan sosialisasi, belum seragamnya kelompok sasaran sosialisasi TPPO dikarenakan belum adanya perencanaan rinci dalam RAD TPPO, dan kurangnya koordinasi.
Sedangkan, pada aspek pengawasan, Johanes menjelaskan, dalam melakukan upaya pencegahan TPPO melalui pengawasan Lembaga Pelatihan Kerja ( LPK) dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), maupun keimigrasian, juga terdapat permasalahan. Di antaranya masih banyak korban TPPO yang semestinya dapat dicegah keberangkatannya melalui proses pengawasan keimigrasian.
“Hal ini menggambarkan masih perlu dilakukan penguatan dalam proses pengawasan keimigrasian, khususnya dalam proses verifikasi dan wawancara serta pemeriksaan di TPI,” ujarnya.
Johanes juga mengungkapkan, mudahnya praktik pemalsuan identitas dan dokumen calon pekerja migran ataupun warga indonesia lainnya yang berpotensi TPPO, meskipun sudah diberlakukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa korban TPPO, lanjut dia, bahwa yang bersangkutan ketika akan berangkat ke negara tempatan tidak pernah terlibat dan mengurus sendiri dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk ke luar negeri, semua dokumen termasuk paspor diurus oleh agen yang merekrut.
(Red)