100 Hari Prabowo-Gibran, IESR Nilai Masih Jauh Dari Target Nol Emisi & Mandiri Energi

oleh -847 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan genap 100 hari pada 28 Januari 2025. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang, swasembada energi dan target nol emisi yang menjadi janji pemerintah, belum terlihat rencana dan tindakan nyata dari pemerintah.

“Untuk mencapai kemandirian energi dan mencapai nol emisi lebih cepat dari 2060,  belum sepenuhnya terefleksi dalam rencana dan tindakan yang nyata,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulisnya kepada ebcmedia di Jakarta, Rabu (22/1/2025).

Sebelumnya, sebulan setelah dilantik, Presiden Prabowo telah menegaskan kontribusi dan kepemimpinan Indonesia mengatasi perubahan iklim global dan transisi energi terbarukan melalui pidatonya di APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil.

Presiden menyampaikan, target net zero sebelum 2050 dengan strategi menghentikan PLTU batubara dalam 15 tahun, mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun, dan mencapai swasembada listrik.

Fabby menilai, pemerintah perlu segera menerjemahkan komitmennya melakukan transisi energi dengan mengeluarkan rencana untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, serta meninggalkan teknologi energi fosil.

Termasuk, kata dia, dalam mengambil langkah-langkah taktis untuk mencapai bauran energi terbarukan 23 persen di akhir 2025, agar tidak kehilangan momentum.

Hingga kini, menurut dia, belum ada arahan khusus dari presiden untuk memastikan tercapainya janji tersebut, khususnya mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang.

Dia mengatakan, sejauh ini fokus pemerintah masih pada target jangka panjang saja, seperti pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, yang konon pembangkit energi akan didominasi oleh energi terbarukan.

Sementara, tambahnya, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang terbit pada November 2024 lalu, justru masih mempertahankan pencapaian target net zero emisi pada 2060, bukannya 2050, serta puncak emisi di 2035, bukan justru di 2030.

Dia juga menyayangkan, RUKN yang masih memuat rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga 2035, sehingga tak sesuai dengan ambisi presiden yang ingin menghentikan operasi PLTU di 2040.

Selain itu, kata dia, ketidak-konsistenan pemerintah dalam ucapan dengan tindakannya, juga terlihat pada subsidi yang diberikan kepada energi fosil dan masih mengandalkan energi batubara yang jelas-jelas kotor.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun 2024, pemerintah menghabiskan anggaran Rp386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk BBM, LPG, dan listrik, yang 87 persen listrik berasal dari energi fosil.

Sementara, penggunaan energi fosil, termasuk BBM berkualitas rendah telah meningkatkan beban biaya kesehatan akibat tingginya polusi, hingga Rp1,2 triliun pada 2023 untuk wilayah Jakarta saja.

“Transisi energi merupakan proses yang panjang, tetapi keputusannya harus dibuat sekarang, sehingga memberikan waktu untuk penyusunan perencanaan energi yang terintegrasi dan implementasi yang terukur,” kata Direktur Eksekutif IESR itu.

(Dhii)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.