Jakarta, ebcmedia – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) cacat prosedur dan tidak transparan. Sehingga, ICW mendesak Badan Gizi Nasional (BGN), agar segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG.
“ICW menilai program MBG cacat dari sektor anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan, hingga pengawasan. Selain itu, segala informasi mengenai program MBG tertutup untuk publik,” kata Peneliti ICW Dewi Anggraini dalam keterangan resmi yang diterima ebcmedia, Sabtu (8/3/2025).
Selama dua bulan program MBG berjalan, kata Dewi, setidaknya terdapat tiga masalah mendasar dalam program MBG. Ia menjelaskan, yang pertama, yakni belum ada kebijakan yang mengatur tata kelola dan mekanisme pelaksanaan MBG secara komprehensif.
Dari hasil penelusuran ICW mengenai kebijakan MBG, dia menyimpulkan, bahwa produk kebijakan yang dilahirkan hanya mengakomodir ambisi Presiden Prabowo Subianto agar MBG bisa berjalan di awal kepemimpinannya.
Rentetan kebijakan MBG, menurutnya, dapat terlihat dari terbitnya Peraturan Presiden nomor 83/2024 tentang pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai Koordinator Pelaksana Program MBG, yang dikeluarkan Presiden Jokowi pada 15 Agustus tahun lalu.
Masalah kedua, sambungnya, yaitu perhitungan kebutuhan anggaran MBG yang serampangan. Hal itu, kata dia, akhirnya berdampak pada pemangkasan anggaran pemerintahan.
Ia menyatakan, penyisihan dan pengumpulan anggaran dimulai, dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 (1/2025) tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
“Dua hari setelah Inpres 1/2025 diterbitkan, Kementerian Keuangan menyebutkan daftar 16 pos belanja yang dapat dipangkas,” jelasnya.
Meski telah ditekankan bahwa pemotongan anggaran tidak termasuk belanja pegawai dan bansos, namun, menurut dia, realitanya banyak program yang berkaitan dengan rakyat menjadi terdampak dan tidak masuk prioritas.
Terakhir, Dewi menuturkan, masalah terdapat pada program MBG, adalah mekanisme pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan.
“Program MBG membutuhkan bahan pangan, kemasan makanan, ahli gizi, juru masak, distributor ke penerima manfaat, dan hal lainnya yang terkait. Namun masyarakat sulit mengakses informasi tersebut,” ungkap Peneliti ICW itu.
Dengan tertutupnya informasi pengadaan MBG itu, dia beranggapan, akan berdampak pada kualitas makanan yang diterima penerima manfaat, dan tidak terserapnya bahan pangan lokal.
Selain itu, ucap dia, minimnya informasi bakal menjadi latar belakang SPPG berpotensi tinggi menimbulkan konflik kepentingan dengan verifikator BGN, monopoli, bahkan persaingan usaha yang tidak sehat.
(Red)