Natalius Pigai Ungkap Penurunan Indeks Demokrasi Karena Sejumlah Regulasi Era Jokowi

oleh -1275 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, menyatakan bahwa penurunan Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaporkan The Economist Intelligence Unit (EIU), bukanlah kesalahan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Menurutnya, penurunan tersebut disebabkan oleh regulasi yang telah diterapkan sejak pemerintahan sebelumnya, yakni saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Ini penting untuk dipahami. Penilaian indeks demokrasi oleh The Economist itu berdasarkan aturan-aturan yang mengekang kebebasan demokrasi. Artinya, ini soal regulasi, bukan individu pemimpin,” ujar Pigai dalam konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Selasa (11/3/2025).

Ia menyoroti, beberapa kebijakan yang dinilai membatasi demokrasi, seperti Peraturan Kapolri tentang ujaran kebencian (hate speech) pada 2015, Undang-Undang MD3 yang memberikan kewenangan kepada anggota DPR untuk melaporkan warga yang mengkritik mereka, revisi Undang-Undang KPK, serta Perppu tentang Ormas yang memungkinkan pemerintah membubarkan organisasi tertentu.

“Sejak 2015 sampai 2024, ada beberapa aturan yang mengunci demokrasi. Misalnya, Peraturan Kapolri soal hate speech, Undang-Undang MD3, revisi UU KPK, Perppu Ormas, hingga penangkapan aktivis masyarakat sipil. Fakta-fakta ini yang menyebabkan indeks demokrasi kita turun,” jelasnya.

Statement Kemunduran Demokrasi Indonesia adalah Tuduhan Kejam

Pigai juga menolak anggapan, bahwa Indonesia sedang mengalami kemunduran demokrasi atau kembalinya dwifungsi TNI, akibat masuknya personel militer dalam jabatan sipil. Ia menyebut tuduhan tersebut sebagai sesuatu yang ‘kejam, berlebihan, tidak beralasan, dan insinuatif (menyindir).’

“Ketika peraturan-peraturan ini tetap berlaku sampai 2024, maka siapapun presidennya, sehebat apapun pemimpinnya, demokrasi akan tetap dinilai turun. Jadi, jangan menyalahkan pemerintahan yang baru,” terang Menteri HAM.

Ia juga menekankan, bahwa ada perbedaan dalam penilaian demokrasi antara lembaga internasional seperti The Economist dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.

“Penilaian indeks demokrasi tergantung siapa yang menilai. The Economist punya metodologi sendiri, BPS juga punya data yang bisa dibaca publik,” kata dia.

Dalam kesempatan tersebut, ia mengajak masyarakat untuk memahami bahwa indikator penurunan demokrasi bukanlah semata-mata akibat kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto, melainkan akumulasi dari regulasi yang diterapkan sejak hampir satu dekade terakhir, yaitu saat kepemimpinan Presiden Jokowi.

Sebelumnya, hasil riset yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit, lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, menunjukkan Indonesia meraih skor 6,44 pada Indeks Demokrasi tahun 2024. Angka tersebut menunjukkan Indonesia kembali mengalami penurunan untuk masalah demokrasi.

Indonesia tercatat anjlok tiga peringkat, dari posisi 56 menjadi posisi 59 dari total 167 negara yang diteliti kondisi demokrasinya. Bila dibandingkan dengan tahun 2023, Indonesia mendapatkan skor 6,53, sedangkan di tahun 2022, capaian indeks demokrasi sebesar 6,71.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.