Jakarta, ebcmedia – Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menyelenggarakan Diskusi media bertajuk “Menatap Agenda Reformasi Elektoral Pasca Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024” pada Selasa, 17 Desember 2024, pukul 11.00-13.00 WIB di Kedai Tempo, Jakarta Timur. Acara ini bertujuan untuk membangun diskursus sistemik tentang reformasi elektoral melalui revisi Undang-Undang Pemilu di Indonesia.
Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 telah menempatkan Indonesia dalam posisi yang rentan dan transisional. SPD mencatat bahwa demokrasi yang tampak “berfungsi” secara prosedural justru dikooptasi oleh aktor-aktor politik untuk mengamankan kekuasaan, menciptakan karakteristik hibrida yang sulit diubah. Jika tren regresi ini berlanjut, Indonesia berisiko semakin jauh dari demokrasi konsolidatif dan mendekati bentuk otoritarianisme terselubung.
Dalam catatan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) dari sisi elemen teknis penyelenggaraan pemilu, pemilu 2024 menunjukan tren peningkatan kualitas partisipasi pemilih Indonesia dengan partisipasi pemilih mencapai 82,24%, naik 0,55% dari Pemilu 2019, serta penurunan suara tidak sah menjadi 9,48%.
Selain itu, Proporsionalitas hasil pemilu juga membaik, dengan Indeks LHI mencapai 1,35% dan Indeks Gallagher (GHI) hanya 0,95%, menandakan distribusi kursi yang lebih adil. Namun, Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) yang diterapkan sejak 2009 gagal menyederhanakan sistem kepartaian, justru mengakibatkan 17,3 juta suara terbuang pada Pemilu 2024.
Meski demikian, secara keseluruhan Pemilu 2024 menunjukkan peningkatan kualitas partisipasi dan proporsionalitas dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.
Erik Kurniawan, Direktur Eksekutif SPD mengatakan point penting terkait dengan landscape evaluasi untuk menyusun agenda elektoral kedepan setelah pemilu dan pilkada di 2024.
“Ada situasi bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir demokrasi kita itu putar arah, terlihat bahwa dari 1998 dimana indikator demokrasi kita punya nilai yang cukup baik dari sisi kebebasan berekspresi, itu terus merosot nilainya,” ungkap Erik Kurniawan dalam acara Diskusi Media pada Selasa(17/12/24).
Erik menjelaskan bahwa laporan di 2023 segala macam penilaian indikator demokrasi Indonesia menurun. Menurutnya ada semacam paradok dari sisi data sejumlah capaian yang disasar lewat pemilu.
Beberapa hal penting yang perlu dicermati di 2025 adanya agenda perubahan undang-undang pemilu dan perubahan undang – undang pilkada. Beberapa pejabat negara juga sudah melontarkan argumentasi yang maknanya evaluative.
“Pak Prabowo dan Pak Mahfud juga sudah mengatakan apakah pilkada tetap dilaksanakan langsung atau dipilih lewat DPRD,” kata Erik.
Namun, menurutnya ada persoalan yang muncul yakni upaya untuk melanggengkan kekuasan yaitu dengan cara yang lebih sederhana yang sangat minimal dalam melibatkan publik.
“Pilkada misalnya, kalo bisa gak pemilu gak pemilu, kalo bisa gak pilkada gak pilkada,” ucap Erik.
Hak Pilih Masyarakat Adat yang Terabaikan
Abdi Akbar menyoroti tantangan serius yang dihadapi masyarakat adat dalam menggunakan hak pilih mereka. Masalah administratif, seperti tempat tinggal di kawasan hutan lindung dan ketidaktersediaan KTP, menjadi penghalang utama masyarakat adat untuk mendapatkan haknya dalam pemilu. Hal ini mencerminkan desain pemilu yang terlalu prosedural dan gagal mengakomodasi pluralisme. Perlu reformasi mendalam untuk menjamin hak masyarakat adat terpenuhi tanpa mengorbankan prinsip pluralisme.
“Itu merenggut hak asasi manusia dan membatasi terutama yang dialami oleh masyarakat adat, saya kasih contoh dari dua kali penyelenggaraan pemilu di 2019 dan di 2024 ini, dibeberapa tempat terutama disumba masih ada hampir ratusan ribu masyarakat adat yang terhambat dan tidak bisa menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara, karena mereka tidak bisa mengurus KTP elektronik,” ujar Abdi Akbar.
Desain pemilu saat ini dinilai masih belum memberikan insentif yang cukup untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan. Dominasi partai politik tertentu di parlemen, yang didukung oleh praktik politik dinasti, berpotensi melemahkan mekanisme check and balance. Ahmad Hanafi menekankan perlunya insentif yang dapat mendorong partai-partai kecil untuk tetap aktif dan berkontribusi dalam proses demokrasi, sehingga menghindari kecenderungan menuju otokrasi.
(Red)