Jubir Kementerian BUMN Angkat Bicara Usai Pejabat Pertamina Ditetapkan Sebagai Tersangka

oleh -1817 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Juru Bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Jubir BUMN) Putri Violla buka suara setelah beberapa pejabat anak usaha atau sub-holding PT Pertamina ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ihwal kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.

Violla menerangkan, Kementerian BUMN terus berkoordinasi dengan PT Pertamina setelah sejumlah pimpinan anak perusahaan ditetapkan sebagai tersangka.

“Kementerian BUMN sejauh ini terus berkomunikasi dengan Pertamina. Maaf kita belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut,” kata Putri Violla saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2025) siang.

Tetapi, kata Violla, koordinasi itu baru dilakukan antara Kementerian BUMN dengan PT Pertamina. Sedangkan dengan Kejaksaan Agung, Violla menyebut, pihaknya belum menjalin komunikasi soal kasus yang menjerat pimpinan perusahaan pelat merah tersebut.

“Sejauh ini komunikasi yang terjalin baru dengan Pertamina-nya, belum dengan Kejagung. Nanti kalau sudah dapat informasi lebih lanjut lagi, lebih jauh lagi, kita akan berikan informasinya,” jelas dia.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan informasi yang diterima ebcmedia, ada dua direktur utama anak usaha PT Pertamina yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung pada Senin (24/2) malam, yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.

Selain itu, ada dua pejabat anak usaha Pertamina lain yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sani Dinar Saifuddin sebagai Direktur Feedstock and Product Optimation PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), dan Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT KPI,

Sementara dari pihak swasta, terdapat nama Muhammad Keery Andrianto Riza sebagai Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, hingga Gading Ramadan Joede sebaga Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Kejagung, terdapat pelanggaran dalam tata kelola minyak mentah oleh PT Pertamina selama 2018-2023. Selama periode tersebut, Riva Siahaan bersama Sani Dinar Saifuddin dan Agus Purwono telah melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir untuk menurunkan readiness kilang.

Dengan demikian, produksi minyak bumi dalam negeri tak terserap sepenuhnya. Kemudian, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.

Secara paralel, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditolak PT Pertamina dengan berbagai alasan, sehingga terpaksa dijual ke luar negeri atau ekspor.

Padahal dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018, PT Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari KKKS di dalam negeri sebelum merecanakan impor minyak bumi.

Dari pengkondisian yang berhasil dilakukan sejumlah tersangka, PT KPI pada akhirnya melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

Masalah tak usai disitu. PT Pertamina Patra Niaga kemudian diketahui melakukan pembayaran impor BBM untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli BBM berkualitas RON 90 atau lebih rendah dan kemudian diblending di depo untuk menjadi RON 92.

Pada saat impor minyak mentah dan produk kilang dilakukan, Kejagung kemudian menemui fakta adanya mark up kontrak pengiriman (shipping) yang dilakukan oleh Yoki Firnandi sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

Secara keseluruhan, Kejagung memperkirakan potensi kerugian negara dari perbuatan melawan hukum itu mencapai sekitar Rp193,7 triliun yang antara lain bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker senilai Rp2,7 triliun, dan kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker Rp9 triliun.

Selain itu, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp126 triliun, serta kerugian pemberian subsidi tahun 2023 di kisaran Rp21 triliun.

(Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.