Filosofi Persaingan dan Ketekunan Ahli Bedah Saraf Prof Satyanegara

oleh -1015 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Ahli bedah saraf Prof. Dr. Dr. Satyanegara, Sp.BS menjalani filosofi persaingan ketika studi di fakultas kedokteran (FK) di Kyushu university (program S1) dan Tokyo University (program S2 dan S3) Jepang terutama tingkat disiplin para mahasiswa di berbagai universitas kerajaan atau Dìguó dàxué.

“Pertama masuk (fakultas kedokteran di Jepang), saya bersikeras harus masuk Dìguó dàxué atau Universitas Kerajaan di Jepang. (keseluruhan) ada tujuh (universitas kerajaan) di Jepang. Dulunya, ada delapan, yang satu di Taiwan. Karena mereka (Taiwan) pisah, sehingga hanya tinggal tujuh universitas,” ujar Satyanegara kepada Redaksi di Mayapada Hospital, Lebak Bulus Jakarta Selatan.

Persaingan sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Jepang semasa masih kuliah. Para mahasiswa di FK, selain jenius, tekun dan sangat berorientasi pada persaingan. Sehingga tidak ada yang lain pada pikirannya saat itu, kecuali kerja keras untuk bisa bersaing juga.

“Ketika masuk Tokyo University, saya janji pada diri saya untuk bisa lebih tekun daripada mereka (orang Jepang). Pemandangan sehari-hari, saya melihat orang-orang baca buku, ibaratnya kutu buku. Ketika kuliah mulai jam 7, saya datang jam 6.50. kalau mereka (orang Jepang) pulang jam 11 malam, saya pulang jam 11.30, itu cara bisa menyaingi mereka,” kata Satyanegara.

Pada Maret 1960, ketika menginjak kakinya di Jepang, ia ikut ujian masuk kuliah kedokteran di Kyushu University dan dinyatakan berhasil lulus. Kemudian mencoba ikut ujian masuk di universitas berbeda, Tokyo Medical & Dental University pada 23 Maret.

Kembali, namanya tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus ujian masuk. Ia lalu memutuskan berkuliah di Kyushu University.

Setelah menjalani perkuliahan, Satyanegara dinyatakan lulus dan diwisuda pada 26 Maret 1966.

Ia lalu melanjutkan S2 Bedah Syaraf di Tokyo University dan kemudian S3 di universitas yang sama.

“Semua cerita (perjalanan hidup) tertera tapi rentang usia 0 – 34 tahun. Tahun ini, saya berusia 85 tahun. Buku ‘Ayat Ayat Filosofi’ memuat perjalanan hidup saya, mulai lahir sampai 33 tahun, saat saya dipanggil pulang ke Indonesia,” terang Satyanegara.

Tujuan pembuatan buku Ayat Ayat Filosofi, sebetulnya lebih ditujukan kepada kedua putranya, Utama dan Dharma.

Pelajaran berharga, terutama perjuangan untuk bisa lulus dari universitas kerajaan di Jepang dituangkan pada buku biografinya.

Awalnya, ia berpikir untuk tidak menuangkan pemikiran atau filosofi kehidupannya saja.

“Karena kalau isi buku (Biografi) melulu mengenai filosofi hidup, pasti tidak menarik. Saya mau ada yang nyata. Kedua anak saya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter atau ahli bedah syaraf. Tapi satu cucu saya, hampir lulus dari fakultas kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

“Dua cucu saya, lulusan fakultas Ilmu komputer dan fakultas hukum Undip (Universitas Diponegoro Semarang). Mereka, keduanya bekerja pada pemerintahan,” tandas Satyanegara*** (red/sr)

No More Posts Available.

No more pages to load.