Jakarta,ebcmedia-Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, pihaknya akan melakukan longmarch Bandung-Jakarta pada tanggal 2 hingga 9 Agustus 2023 menuntut empat paket UU Indonesia Terpimpin, salah satunya adalah UU Presidential Threshold 20 persen. Hal ini disampaikannya dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Cabut Presidential Threshold 20 persen di Gedung Joeang ’45, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
“Tanggal 2 hingga 9 Agustus kita akan longmarch jalan kaki Bandung-Jakarta. Salah satu poin yang dibawa adalah cabut Presidential Threshold 20 persen,” kata Said Iqbal.
Said Iqbal menekankan, Presidential Threshold 20 persen harus berubah menjadi Threshold 0 persen untuk menguatkan sistem presidensial di Indonesia. Menurutnya, sistem presidensial itu partai politik berkoalisi dengan calon presiden bukan berkoalisi dengan sesama partai politik.
“Sistem negara kita kan presidensial bukan parlementer. Koalisi itu partai politik dengan calon presiden. Sedangkan presidensial bukan berkoalisi dengan sesama partai politik. Itu artinya sistem parlementer. Partai buruh menolak sistem parlementer. Jadi justru menghilangkan Presidential Threshold 20 persen menjadi 0 persen penguatan sistem presidensial,” terangnya.
Senada dengan Said Iqbal, Mantan Menteri Koordinator Maritim, Rizal Ramli menyebut sistem Presidential Threshold 20 persen menyalahi Undang-Undang Dasar karena tidak ada persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mencalonkan seseorang menjadi presiden. Dalam Undang-Undang yang ada hanyalah syarat kemenangan menjadi presiden.
Menurut Rizal, Presidential Threshold 20 persen ini merupakan basis demokrasi kriminal di Indonesia yang dapat melahirkan koruptor-koruptor di Indonesia.
“Saya kira waktunya sudah tiba untuk menghapuskan PT, jelas sekali tidak ada dalam UUD kita pembatasan pencalon yang ada yang dijelaskan syarat kemenengan, itu beda. Kedua, tidak ada di seluruh dunia mau menjadi presiden ada pembatasan threshold. Jadi di situlah demokrasi betul-betul sebagai arena kompetisi untuk dapat kandidat-kandidat terbaik. Saya ingin mengatakan UU Presidential Threshold 20 persen ini jadi basis demokrasi kriminal di Indonesia,” tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menilai adanya Presidential Threshold 20 persen atau ambang batas pencalonan presiden justru akan melemahkan sistem presidensial itu sendiri.
“Jadi memperkuat sistem presidensil caranya tidak dengan adanya ambang batas pencalonan ini. Apalagi kita pemilunya serentak, yaitu Pileg dan Pilpres. Jadi, itu sudah tidak relevan lagi. Jadi sebenarnya 0 persen itu memang tidak ada seharusnya,” terangnya
Dalam acara Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh Partai Buruh tersebut hadir pula Pakar Tata Negara Refly Harun, LBH Muhamadiyah Said Salahudin, Peneliti Utama BRIN Siti Zuhroh, Kuasa Hukum Partai Buruh Fery Amsari, Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati.
Sebagai informasi, Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden merupakan aturan terkait pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum. Dalam konsepnya, partai politik atau gabungan parpol wajib memiliki syarat minimal perolehan suara atau persentase kursi di DPR, agar bisa menyodorkan perwakilan capres atau cawapres untuk pemilu.
Dalam sejarahnya, Presidential Threshold pertama kali dipraktikkan pada Pemilu 2004 yang merupakan pemilihan presiden pertama yang dilakukan secara langsung di Indonesia. Saat itu, aturan ambang batas diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003 yang menyebutkan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden, hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.”
Selanjutnya, dalam Pemilu 2009 aturan persentase dalam Presidential Threshold kembali diubah, merujuk UU Nomor 42 Tahun 2008, berbunyi: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.”
Sementara itu, pada Pemilu 2014, tidak ada perubahan mengenai Presidential Threshold dan masih menggunakan UU Nomor 42 Tahun 2008.
Berikutnya saat jelang Pilpres 2019, aturan Presidential Threshold kembali menjadi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang menyatakan: “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
PDI P Parpol Terkuat
Dari hasil Pemilu legislatif 2019 yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), PDI Perjuangan menjadi partai paling berkuasa di parlemen karena mendulang 22,26 persen dari total 575 kursi di DPR RI. Jumlah tersebut membuat PDIP menjadi satu-satunya partai yang bisa mengusung capres atau cawapres untuk Pemilu 2024 tanpa harus berkoalisi.
Sementara partai politik yang lain wajib berkoalisi untuk memenuhi ambang batas atau Presidential Threshold minimal 20 persen.
Berikut ini adalah data persentase kursi DPR RI hasil Pemilu legislatif 2019:
• Golkar: 14,78%
• Gerindra: 13,57%
• Nasdem: 10,26%
• PKB: 10,09%.
• Demokrat: 9,39%
• PKS: 8,7%
• PAN: 7,65%
• PPP: 3,3% (Dian)