Jakarta,ebcmedia-Pulang ke kampung halaman menyambut Lebaran untuk bertemu sanak saudara adalah hal lazim dari sisi psikologis dan sosiologis hingga memunculkan tradisi mudik.
Namun, menurut Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Tulus Abadi, di balik itu, hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah mengupayakan agar tarif atau biaya transportasi mudik Lebaran tetap rasional, sehingga para pemudik tidak harus menanggung beban mahalnya biaya transportasi untuk menuju ke kampung halaman.
Jika hal itu tak diupayakan, kata Tulus, maka hal yang akan terjadi, moda transportasi menerapkan tarif yang “menyundul langit” saat musim mudik Lebaran, baik untuk darat, laut, maupun udara, karakternya serupa.
Pun untuk pengguna kendaraan pribadi, harus merogoh kocek yang dalam untuk mengaspal di jalan tol.
“Terkait hal ini, ada beberapa sorotan sebab musababnya, baik dari sisi hulu, maupun hilir,” kata Tulus yang juga Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui siaran pers yang diterima redaksi, Senin (8/4/2024).
Pertama, disebutkan tulus, dari sisi hulu, persaingan di sektor industri transportasi sangatlah ketat, nyaris berlaku “hukum rimba”, sehingga di lapangan, menimbulkan satu persaingan yang kerap tidak sehat, karena terlalu banyaknya pemain (operator).
“Hal ini, salah satunya dipicu oleh terlalu mudahnya perizinan, seperti di sektor angkutan umum bus antarkota (bus AKAP), industri angkutan penyeberangan, bahkan di sektor penerbangan,” ungkapnya.
Ketatnya persaingan ini menyebabkan revenue dan margin profitnya semakin kecil, sehingga, manakala ada momen mudik Lebaran, saat permintaan sedang tinggi-tingginya, mereka sering aji mumpung untuk menerapkan tarif yang setinggi langit yang harus ditanggung konsumen sebagai pengguna angkutan umum.
Walaupun, dalam hal ini, mereka berdalih tingginya tarif masih dalam koridor regulasi, yakni ketentuan tarif batas atas (TBA). Artinya belum ada pelanggaran tarif batas atas tersebut.
“Hanya saja, secara empirik, hal ini berpotensi mereduksi hak konsumen dan hak-hak publik, karena semua tarif melambung tinggi, tak ada pilihan bagi konsumen,” tukasnya.
Padahal, lanjutnya, jika struktur pasarnya sehat, maka ada opsi bagi konsumen untuk memilih moda transportasi dengan tarif yang lebih kompetitif (terjangkau). Bahkan, lebih lagi, tingkat persaingan itu bukan saja pada operator yang sejenis, tetapi sudah melampau lintas moda.
“Misalnya, untuk di Pulau Jawa, terjadi persaingan sengit antara sektor udara dan jalan tol, bahkan, sektor udara dengan kereta api eksekutif. Buktinya, saat ini jumlah penumpang di Bandar Udara Ahmad Yani-Semarang, dan Bandar Udara YIA-Yogya turun signifikan (sekitar 30 persen), karena diduga banyak penumpang yang migrasi menjadi pengguna jalan tol,” Tulus mencontohkan.
Menurutnya, ini hal yang logis, setelah tol di Jawa terintegrasi dengan panjang mencapai 1.745 km. Bahkan, fenomena serupa juga dialami oleh Bandar Udara di Juanda, Surabaya.
Penurunan penumpang di sektor udara bisa juga dipicu oleh makin baiknya pelayanan KAI untuk kategori KA eksekutif, khususnya untuk jurusan Yogyakarta, Solo, dan Surabaya.
Kedua, lanjutnya, khusus untuk sektor udara, sudah satu tahun terakhir juga tarifnya sangat tinggi. Sekalipun secara umum masih dalam koridor regulasi TBA, tetapi ini cenderung kurang lazim, jika mengacu pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam hal ini, bisa jadi pemicunya dua hal, yaitu jumlah pesawat yang masih minim atau kurang. Sebab selama pandemi banyak maskapai nyaris lempar handuk, karena tak mampu membayar sewa pesawat, dan akhirnya dikembalikan ke pihak leasor di luar negeri.
“Ketika pertumbuhan ekonomi mulai pulih dan jumlah penumpang meningkat tajam, tetapi pesawatnya kurang, pemerintah mengklaim Indonesia kekurangan 300-an pesawat, pascapandemi. Belum lagi, selain jumlah pesawat, tingginya tiket pesawat juga dipicu oleh kenaikan harga avtur di pasaran. Avtur berkontribusi terhadap 35-40 persen biaya operasional,” paparnya.
Ketiga, kembali disebutkan Tulus, faktor monopolistik oleh operator, karena memang pelakunya tunggal, dalam hal ini adalah sektor perkeretaapian.
Ia mengutarakan, dalam musim mudik ini, sejatinya kereta api menjadi favorit, tetapi sayangnya kapasitasnya terbatas, hanya mampu mengangkut 2 juta penumpang saja, sehingga banyak calon penumpang kecewa karena kehabisan tiket KA.
“Keluhan konsumen berikutnya adalah mahalnya tiket KA, untuk semua kelas dan kategori, bahkan untuk tiket ekonomi. Rata-rata kenaikan tiket KA mencapai lebih dari 50 persen. Bahkan, untuk kategori KA sleeper dan kompartemen, kenaikannya mencapai lebih dari 100 persen. Manajemen PT KAI menggunakan tarif yang cenderung tinggi,” urainya.
Fenomena ini, analisis Tulus, berpotensi melanggar UU Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, karena adanya fenomena eksesif margin atau nilai keuntungan yang berlebihan akibat permintaan tinggi.
Ditjen KA Kemenhub merespons dengan kebijakan mekanisme pasar. Padahal, dalam perkeretaapian pemainnya tunggal, hanya PT KAI.
“Keempat, untuk pengguna kendaraan pribadi, sejatinya menjadi pihak yang paling diuntungkan, karena menangguk subsidi yang paling tinggi, yakni via subsidi harga BBM (jenis pertalite),” imbuhnya.
Sebab sampai sekarang harga BBM untuk jenis pertalite masih disubsidi oleh negara. Tidak kurang dari Rp176 triliun untuk subsidi BBM, namun di sisi lain pengguna kendaraan pribadi tersandera oleh tiket atau tarif jalan tol yang (terasa) mahal.
“Bahkan, tarif tol untuk Trans-Jawa, akan jauh lebih mahal dibanding fulus yang harus dikeluarkan konsumen untuk konsumsi BBM kendaraannya,” pungkasnya.
Di sisi lain, diskon tarif tol nyaris tak efektif untuk mendistribusikan pemudik agar mudik lebih awal. Artinya mayoritas konsumen jalan tol harus membayar tarif jalan tol yang mahal.
Kelima, masih menurut Tulus, adanya fenomena hilangnya jenis transportasi kelas ekonomi, khususnya untuk bus AKAP, dan bahkan kereta ekonomi. Saat ini nyaris semua PO bus menuakan kelas ekonomi dan menerapkan kelas nonekonomi.
“Dampaknya, karena berbasis nonekonomi, tarifnya sesuka operator bus. Lagi-lagi aji mumpung. Tarif batas atas dan batas bawah hanya berlaku untuk kelas ekonomi,” jelasnya.
Alasan yang diberikan oleh operator bus, konsumen tidak suka dengan bus kelas ekonomi, karena tidak ber-AC, sehingga kondisinya panas.
Sementara itu parameter nonekonomi makin tidak jelas, operator menerapkan kelas eksekutif, super eksekutif, eksekutif sleeper, dan lain-lain yang itu semua belum ada standar regulasinya.
“Akhirnya tarif bus nonekonomi juga tinggi. Tiket ekonomi KA jarak jauh juga sangat terbatas jumlahnya,” katanya.
PT KAI juga banyak mengoperasikan KA jenis nonekonomi, dengan keuntungan yang lebih tinggi.
“Itulah konfigurasi persoalan yang ada. Masyarakat sebagai pemudik seperti tak punya pilihan yang leluasa dan harus merogoh kocek yang dalam. (Rief)