Amnesti Narapidana Hanya Solusi Jangka Pendek, Revisi Atau Hapus UU ITE!

oleh -427 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, rencana pemerintah memberikan amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana, termasuk untuk kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penghinaan kepala negara/presiden dan kasus Papua, bukanlah solusi keseluruhan masalah.

“Terlihat seperti solusi pragmatis, untuk menyelesaikan permasalahan di hilir, yaitu kelebihan kapasitas di lapas,” kata Usman dalam keterangan tertulis kepada ebcmedia, Kamis (19/12/24).

Usman mengatakan, negara nampaknya tidak memiliki niat serius untuk menyelesaikan permasalahan utama di hulu. Seperti soal kasus ITE, menurut dia, perlu diikuti dengan revisi atau penghapusan aturan hukum yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi suara-suara kritis.

“Setidaknya revisi UU ITE mendesak untuk segera ditinjau ulang dan ini menjadi momentum yang tepat jika negara betul-betul ingin menunjukkan komitmennya terhadap HAM,” ujarnya.

Dia juga menyatakan, negara juga harus membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE, hanya karena mengekspresikan pandangannya secara damai, termasuk Septia Dwi Pertiwi, yang pada Kamis (12/12) lalu dituntut satu tahun penjara, hanya karena mengkritik secara damai upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diterimanya.

Jika permasalahan di hulu tidak diselesaikan, dia berpandangan, maka pemerintah akan disibukkan dengan berapa banyak jumlah amnesti yang harus dikeluarkan negara ke depan.

Politik pengampunan yang dilakukan oleh negara, menurutnya, merupakan solusi jangka pendek, karena tidak menyelesaikan akar permasalahan utama di hulu.

“Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril pada tahun 2019 dan Saiful Mahdi pada tahun 2021 buktinya tidak menghentikan jumlah orang-orang yang dipidana menggunakan UU ITE,” ungkap dia.

Kebijakan pengampunan massal tersebut, sambungnya, baru bisa dikategorikan sebagai penghormatan terhadap HAM, jika negara menjalankannya sepaket dengan revisi atau penghapusan undang-undang dan aturan hukum yang kerap digunakan membungkam ekspresi damai, seperti UU ITE, pasal penghinaan terhadap presiden, dan pasal-pasal makar yang kerap digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang berekspresi secara damai.

“Mereka yang dipenjara karena menghina presiden maupun karena tuduhan makar di Papua dan Maluku, harus segera dibebaskan saat ini juga,” tutur dia.

Usman berpendapat, harus ada komitmen negara untuk tidak lagi mengkriminalisasi dan memenjarakan seseorang hanya karena ekspresi politik yang disampaikan secara damai.

Amnesty International menganggap, mereka yang dipenjara karena menyampaikan ekspresi politik secara damai sebagai tahanan hati nurani yang tengah melaksanakan hak atas kebebasan berekspresi.

(Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.