Jakarta, ebcmedia – Anggota direksi produsen pakan di Indonesia hanya melakukan upaya keberatan dan banding dalam penyelesaian sengketa, yakni pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor bahan baku.
“(alur perkara) Proses banding, dengan keberatan dulu. Bayar dulu, ajukan keberatan, setelah ditolak, pengajuan banding di pengadilan pajak. DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) yang collecting (menagih). DJBC tidak bisa memutuskan, itu ranah DJP (Direktorat Jenderal Pajak),” katanya.
Hasil tagihan ibaratnya dititipkan kepada DJBC, petugas DJP menagih kepada importer. Kalau perusahaan merasa keberatan, tetapi harus bayar dulu. Begitu sudah dikasih notul (nota pembetulan; nota yang dibuat oleh Pejabat tentang kekurangan atau kelebihan pembayaran Bea Masuk, Cukai, Pajak dalam rangka impor dan sanksi administrasi berupa denda), petugas beacukai menagih.
“Kita bayar dulu, kita keberatan. Prosedur seperti itu, kami jalani. Kami sudah bayar duluan, ini masalah aturan mereka. Kalau kita sudah bayar duluan, kita (perusahaan/importir) dianggap ‘menyetujui’, ini resiko. Kalau kita ajukan banding, pasti kalah. Ini seperti clue untuk praktisi hukum untuk lebih paham,” katanya.
Kapasitasnya sebagai pengurus Asosiasi juga sudah sampai melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Tetapi Asosiasi melihat bahwa kondisi negara sedang butuh duit. Kepentingan DJBC, bahwa barang ini kena PPN. Kementerian teknis seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, bahwa barang (fish oil) ini masuk, harus melalui karantina. DJBC memastikan, setelah itu barang boleh masuk.
Kalau lain-lain proses di pelabuhan, check by system, sudah ada rekomendasinya. Kalau sudah ada API (angka pengenal impor) dari kementerian perdagangan, yang penting sudah bayar PPN, barang dikeluarkan.
“Karena ini kan statusnya ‘titipan’. Kami di kepengurusan asosiasi punya kepentingan dengan anggota (perusahaan manufacturing) pakan. Semua regulasi terkait akan di follow up. Kalau memberatkan, kami counter. Sejak 2018 – 2020, kami fighting mengenai peraturan ini. Mereka tidak mau dengar, walaupun mereka tidak bisa jawab, tidak bisa memberi argumentasi,” katanya.
Proses keberatan juga sempat melalui pengajuan executive review di kementerian hukum dan HAM, Menko Polhukam. Hasilnya ada, terutama upaya permintaan kaji ulang peraturan tersebut. Tapi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142 belum berubah. “UU perpajakan, PMK nya belum berubah. Tidak semua bahan pakan, Positip list, PPN dibebaskan,” katanya.
Di dalam Undang Undang, Peraturan Pemerintah diatur oleh PMK. Ketika PMK terbit, ada positip list. Di luar itu, (semua produk impor) dianggap negatif, dan dikenakan PPN. Asosiasi mempertanyakan reaksi anggotanya, legowo atau tidak bahwa semua bahan baku bebas PPN.
“Padahal, tidak semua bahan baku dibebaskan PPN. Kalau (pelaku usaha) legowo, semua yang dapat rekomendasi sebagai bahan baku, impor nya produsen, PPN bebas. Itu kan gampang, tapi kenyataan tidak, pemerintah membuat positip list, artinya (daftar produk yang diimpor) dibatasi, yang mana bebas (PPN), mana tidak bebas. Begitu bahan baku yang diambil di luar positip list, kena PPN,” katanya.