Jakarta, ebcmedia – Ratusan pengusaha swasta, pelaku UKM, para subkontraktor dan suplier di tanah air, tergabung dalam Persatuan Korban Istaka Karya atau PERKOBIK, menggelar aksi demo di depan kantor Kementerian BUMN, Rabu (15/3/2023) pagi.
Dalam aksi tersebut, Perkobik menuntut pemerintahan cq Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, bertanggung jawab melunasi seluruh kewajiban utang BUMN PT Istaka Karya kepada para suplier dan subkontraktor yang telah menyelesaikan kewajibannya dalam membangun berbagai infrastruktur di tanah air, mulai dari pembangunan jalan tol, under pass, jembatan, gedung pemerintah, dan seterusnya.
“Kami ini pengusaha swasta. Lokal dan nasional. Kami telah menyelesaikan kewajiban kami, bekerja. Bekerja dengan mengeluarkan modal sendiri. Modal uang, barang, dan tenaga. Tapi, sampai sekarang, BUMN Istaka Karya yang notabene perusahaan pelat merah, perusahaan milik negara, milik pemerintah, belum melunasi seluruh tagihan pembayaran sebagai hak kami. Karena itu, di sini kami menuntut pemerintah dan negara untuk bertanggungjawab,” kata Bambang Susilo, Ketua PERKOBIK.
Bambang Susilo, pengusaha pasir dan batu asal Yogyakarta yang juga penyandang disabilitas, menegaskan, jangan karena kesalahan manajemen dan buruknya kinerja BUMN, para pelaku usaha nasional yang telah bekerja profesional justru menjadi tumbal dengan tidak dibayar.
“Kami ini pengusaha swasta. Modal sendiri. Pinjaman dari Bank dengan agunan rumah, tanah dan lainnya. Kami bayar pajak. Kami menciptakan lapangan kerja. Dan, Pekerjaan kami sudah tuntas. Hasilnya nyata, mulai dari under pass, jalan tol, gedung pemerintah. Semuanya langsung dimanfaatkan atau dinikmati masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi, kok, sampai sekarang kami tidak dibayar. Jadi, masyarakat dan pemerintah untung, kenapa kami yang malah buntung,” keluhnya.
Untuk diketahui, Bambang Susilo adalah penyandang disabilitas yang berjuang membangun ekonomi mandiri dengan membuka usaha pasir dan batu. Untuk usaha ini, sebagai modalnya Bambang menjaminkan rumah dan tanahnya ke Bank pemerintah. Adapun proyek infastruktur dari PT Istaka Karya yang dikerjakan Bambang adalah pembangunan underpass Kentungan, Yogyakarta.
Underpass Kentungan, Yogyakarta sudah beroperasi tak lama selesai dibangun tahun 2020. Kenyataan, tagihan Bambang ke PT Istaka Karya tidak dibayar lunas. Akibatnya Bambang mengalami banyak kesulitan. Agunan rumah dan tanahnya akan disita oleh Bank pemerintah. Sejumlah karyawannya yang notabene para penyandang disabilitas terpaksa dirumahkan.
“Pemerintah berkali-kali mengaku susah karena resesi global. Lha, apalagi kami.”
“Sudah resesi global, utang tidak dibayar. Gimana kami bisa memutar ekonomi perusahaan? Jadi, langkah apapun akan kami lakukan agar negara dan pemerintah bertanggungjawab membayarkan utang-utang BUMN, khususnya PT Istaka Karya,” tukasnya.
Dia menuturkan, tidak menutup kemungkinan para korban dari BUMN PT Istaka Karya akan melakukan aksi blokir jalan tol atau boikot infrastruktur lainnya yang ) pemerintah belum bayar. “Hak kami ada di situ,” ujarnya.
Penderitaan lebih panjang dialami banyak para subkontraktor dan suplier yang tidak dibayar sejak 2010. Di antaranya, subkontraktor yang mengerjakan pelebaran jalan tol
Prof Dr Sedyatmo tahun 2008 dan subkontraktor yang mengerjakan pembangunan jalan tol Ungaran tahun 2010. Tagihannya lumayan besar, puluhan miliar rupiah.
“Jangan salahkan kami, kalau setelah melalui berbagai langkah menuntut pemerintah untuk membayar hak kami tidak dipenuhi, pada akhirnya kami terpaksa melakukan aksi yang ekstrim dengan menutup atau memblokir jalan tol-jalan tol tersebut,” kata Eki, advisor dari Saeti.
Rekayasa
Bambang mengemukakan, Perkobik mendukung rencana pemerintah dalam pembubaran BUMN yang tidak perform atau merugi. Akan tetapi, pemerintah harus bisa adil dan bijaksana dalam melakukan rencana tersebut. Pertama, pemerintah harus menyelesaikan kewajibannya, yakni membayar hak dari setiap subkon dan suplier.
“Pemerintah jangan menghilangkan hak kami. Ingat, kewajiban kami sudah kami penuhi, kini kami menuntut hak kami,” terangnya.
Kedua, pemerintah jangan berlindung di balik hukum kepailitan. Karena Perkobik | melihat pailitnya PT Istaka Karya ini prosesnya penuh tipu daya, rekayasa, bahkan | terindikasi ada perbuatan melawan hukum.
“Dugaan kami PT Anambas Riau Samudera selaku penggugat pembatalan hamologasi sehingga PT Istaka Karya dipailitkan, telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan. Posisi PT Anambas Riau Samudera pada saat itu bukanlah kreditur, melainkan masih sebagai pemegang saham seri C,” ucap Bambang.
PT Anambas Riau Samudra itu posisinya masih sebagai pemegang saham. “UU Kepailitan dan PKPU menegaskan, syarat mutlak yang bisa mengajukan atau menuntut pembatalan suatu perdamaian adalah kreditur dan bukan pemegang saham,” urainya.
Proses pailitnya PT Istaka Karya ini diduga penuh permainan dan rekayasa dari pr Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang notabene adalah perusahaan BUMN dengan PT Istaka Karya dan Kurator.
Triyatno dari PT Trijaya Abadi menyatakan, dirinya pernah diajak PT PPA, PT Istaka Karya dan Kurator untuk mengajukan gugatan pailit. Triyatno menceritakan, di pertengahan Maret 2022, dirinya bertemu di kantor PT PPA dengan Komisaris dan Dirut PT Istaka Karya, serta kurator bernama Jimmy Simanjuntak.
“Saya ditawari untuk menggugat pailit PT Istaka Karya. Saya dijanjikan tagihan saya akan dibayar 20 persen. Saya tidak mau. Saya minta Rp250 juta dari tagihan Rp700an juta,” ujarnya seraya menyatakan tidak tahu bagaimana dengan PT Anambas Riau Samudra yang diketahui punya tagihan hanya Rp300 juta.
Selain permainan pemailitan PT Istaka Karya sebagai BUMN cacat hukum karena melawan PP Nomor 44 Tahun 2018 yang secara tegas dan rinci mengatur rencana pembayaran kembali saham-saham milik para pemegang saham seri C.
“Pailitnya PT Istaka Karya ini skenario yang tidak fair dalam rangka menyuntik mati PT Istaka Karya yang sesungguhnya telah merugi akibat kebobrokan manajemen dan kesalahan pengelolaan direksi dan pejabat di BUMN. Presiden Jokowi harus tahu soal ini,” papar Bambang. (Wan)