Jakarta, ebcmedia – Para aktivis 98 menggelar diskusi interaktif bertajuk ’25 Tahun Reformasi Kesaksian Pelaku Sejarah’ untuk mengenang reformasi yang sudah berjalan selama 25 tahun.
Diskusi yang digelar di Sekretariat Graha Pena 98 di Jakan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/5/2023), memghadirkan para aktivis 98 yang sekaligus menjadi pembicara yaitu Firman Hidayatuloh selaku fotografer dokumen aksi mahasiswa 1998, Nezar Patria selaku aktivis korban penculikan dan penganiayaan,
Kemudian Prof. Dadan Umar Daihani selaku guru besar Universitas Trisakti untuk mengenang sekaligus berdiskusi mengenai perjalanan bangsa Indonesia pasca tragedi tahun 1998.
“Peringatan istimewa seperempat abad reformasi, teman-teman aktivis yang berkiprah dalam peristiwa tersebut mencoba melakukan semacam refleksi atau meninjau kembali apa yang sudah dilakukan,” ujar Nezar Patria.
“Lalu perjalanan reformasi sudah sampai mana, ada semacam dialog dan diskusi selama 25 tahun itu. Diskusi selain mengenang juga melihat kemana kita akan berjalan selama 25 tahun ini,” sambungnya.
Nezar menuturkan, tahun 1998 menjadi momentum sejarah dan juga modal memberi penajaman ke mana arah bangsa ini sesuai dengan cita-cita para pendiri publik. Momen yang penting untuk dirayakan bersama.
Diskusi juga dimeriahkan dengan pameran foto karya Firman Hidayatuloh. Foto-foto tersebut bertemakan perjuangan-perjuangan aktivis 98 yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat dalam memperjuangkan kebebasan rezim orde baru.
Kejadian mengerikan di tahun 1998 seperti kerusuhan, penembakan terhadap mahasiswa, pembredelan media, pelanggaran HAM seperti penculikan, pemerkosaan, dan penganiayaan masih menjadi momok mengerikan bagi para aktivis maupun masyarakat Indonesia.
“Momen yang paling diingat sebagai fotografer yaitu momen yang nggak enak bagaimana temen-temen dipukuli karena menyuarakan penderitaan rakyat pada saat itu. Rakyat sedang lapar dianggap musuh. Saat teman-teman dianggap komunis padahal kita ibadah padahal kita bertakbir itu isu fitnah yang sangat kejam dan itu yang terekam dan membekas di memori dan hati saya dan ini yang menjadi bahaya ke depan, (mengenai) intoleransi.” tukas Firman Hidayatuloh.
Selain itu diskusi yang menghadirkan saksi hidup tragedi tahun 1998 itu bukan hanya menjadi kilas balik para aktivis, tetapi juga menjadi pengingat untuk generasi muda merawat dan menjaga kebebasan berdemokrasi.*** Dian/Rz.