Jakarta, ebcmedia – Sejumlah pakar hukum tata negara menilai sistem proporsional terbuka masih menjadi sistem yang cocok diterapkan dalam pemilu di Indonesia saat ini.
Berkaca pada kondisi kepartaian yang masih harus dibenahi, apabila sistem proporsional tertutup yang menganut sistem coblos partai diberlakukan maka masyarakat tak akan bisa menjamin siapa yang akan dipilih oleh partai.
Menyoroti mencuatnya rumor putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan pernyataan eks Wamenkumham Denny Indrayana soal sistem pemilu tertutup, pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar menilai sistem proporsional terbuka lebih cocok diterapkan dengan melihat kondisi kepartaian dan lain sebagainya.
Kondisi partai yang masih diperlu diperbaiki membuat sistem pemilu harus dilakukan secara terbuka agar publik dapat mengaksesnya secara luas.
“Kalau kita sudah bicara soal conditioning, kita bicara soal lebih cocok proporsional terbuka, kan kondisinya kepartaian dan lain sebagainya, yang ketiga biasa aja yang begini biasanya open legal policy bagi MK. MK selalu bilang ini urusannya membentuk Undang Undang, bukan urusan kita. Menjadi menarik apabila tiba-tiba MK bilang itu urusan dia, bukan urusan partai,” ucap Zainal Arifin Mochtar, Rabu (31/5/2023).
“Itu sebabnya barangkali kenapa, jangan berani tertutup, harus terbuka. Biarkan publik bisa mengakses. Nah, yang begini-begini itu harus disadari, bahkan bukan hanya publik yang sadari, partai politik juga sadar. Makanya 8 partai itu mengatakan mending profesional terbuka, makanya kita bingung MK ini mau apa?” tanyanya.
Sebelumnya, sebanyak 8 fraksi di DPR RI kembali menyatakan sikap bersama menolak sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
Pernyataan sikap bersama tersebut dilakukan usai mencuatnya rumor putusan MK berdasarkan pernyataan eks Wamenkumham Denny Indrayana. (Oby)