Jakarta,ebcmedia-Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi menduga, amicus curiae Megawati Soekarnoputri disusun oleh tim Ganjar-Mahfud. Nama besar Megawati dimanfaatkan untuk memengaruhi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konsitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024.
Menurut Haidar, amicus curiae yang diajukan Megawati Soekarnoputri ke MK merupakan bentuk intervensi. Intervensi tak selalu bersifat diam-diam dan memaksa, tapi juga dapat bersifat terbuka melalui cara-cara legal.
“Kubu Ganjar-Mahfud sengaja memanfaatkan nama besar Megawati untuk memengaruhi pertimbangan majelis hakim,” kata Haidar melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (17/4/2024).
Sebab, ungkap Haidar, saat ini Megawati merupakan Ketua Umum PDI Perjuangan yang mana capres-cawapresnya sedang berperkara di MK. Apalagi, amicus curiae tersebut diajukan di penghujung sengketa Pilpres 2024, menjelang pembacaan putusan.
Ia menduga, amicus curiae Megawati disusun oleh tim Ganjar-Mahfud yang ditambahkan bumbu tulisan tangan Megawati agar terkesan lebih meyakinkan.
Paling jelas, kata Haidar, yang menyampaikan amicus curiae Megawati ke MK adalah petinggi PDI Perjuangan beserta tim hukum Ganjar-Mahfud.
“Karena itu jelas sekali amicus curiae Megawati tidak independen, harus ditolak. Mengatasnamakan WNI bukan Ketum PDIP hanyalah kamuflase agar terkesan netral. Saya rasa semua orang tahu posisi Megawati dalam perkara ini dan majelis hakim tidak mungkin terkecoh oleh hal itu,” tutur Haidar.
Dari segi isi, Haidar melihat, pilihan kata yang digunakan secara tersirat ingin menegaskan identitas dan kekuasaan Megawati.
Ia mencontohkan penggunaan diksi “fajar”. Pertama, digunakan untuk menjelaskan salah satu dari empat pedoman kebenaran. Dalam bahasa Rusia disebut utrenja, yang artinya fajar. Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi kekuatan fajar menyingsing di ufuk Timur.
“Fajar identik dengan Bung Karno yang disebut Putra Sang Fajar, karena lahir saat fajar menyingsing. Megawati seakan ingin menegaskan tidak ada yang dapat menghalangi kekuatan dan kekuasaan dirinya yang merupakan keturunan Bung Karno,” jelas Haidar.
Kedua, lanjutnya, kata “fajar” digunakan dalam kalimat: “Ketukan palu hakim MK akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan.”
“Dengan kata lain, kalau memenangkan pihak penggugat, hakim MK akan mendapat citra positif sebagai fajar keadilan. Kalau mengalahkan pihak penggugat, hakim MK akan mendapatkan citra negatif sebagai pembawa kegelapan bagi demokrasi. Itu yang dapat saya baca dari keadilan versi amicus curiae Megawati,” paparnya.
Selain itu, R Haidar Alwi mengungkap bahwa amicus curiae Megawati tidak melihat secara utuh hubungan antara kecurangan Pemilu dengan Indeks Demokrasi Indonesia berdasarkan data Freedom House dan The Economist Intelligence Unit yang digunakan untuk mendukung opininya.
Dalam narasinya, data Freedom House menunjukkan Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Sedangkan data The Economist Intelligence Unit menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat 54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.
“Pertama, penilaiannya terlalu sempit hanya berdasarkan skor dan peringkat. Padahal, jika dilihat lebih luas lagi secara global, Indeks Demokrasi Indonesia tidak seburuk itu,” jelasnyaungkap R Haidar Alwi.
Kedua, masih menurut Haidar, penerjemahan bahasa Inggris yang buruk terhadap kata “flawed democracy”. Amicus curiae Megawati menerjemahkannya sebagai demokrasi yang cacat, padahal maksudnya adalah demokrasi belum sempurna. Terjemahan negatif untuk memberikan kesan negatif pada demokrasi Indonesia.
Setelah melihat laporan Freedom House bertajuk Freedom In The World 2024, Haidar menemukan bahwa Indonesia mendapatkan skor 57/100, turun dari tahun sebelumnya dengan skor 58/100 dan berstatus “partly free” atau semi bebas atau belum sepenuhnya demokratis.
Secara global, dari 195 negara, sebagian besar yakni 42 persen negara berstatus seperti Indonesia, yaitu belum sepenuhnya demokratis. Sekitar 20 persen berstatus demokratis dan 38 persen tidak demokratis. Sementara secara regional, dari 39 negara Asia-Pasific, 44 persen berstatus demokratis, 35 persen belum sepenuhnya demokratis dan 21 persen tidak demokratis.
“Status Indonesia yang belum sepenuhnya demokratis bukan kategori yang paling jelek karena ada 35 persen negara secara regional Asia-Pasific dan 42 persen negara secara global yang statusnya sama dengan Indonesia. Apalagi, di bawahnya masih ada 21 persen negara di regional Asia-Pasific dan 38 persen negara secara global yang statusnya lebih jelek dari Indonesia yaitu tidak demokratis,” ucap Haidar.
Ia melanjutkan, selama 18 tahun terakhir, negara yang mengalami penurunan Indeks Demokrasi selalu lebih banyak dari negara yang mengalami peningkatan. Dalam laporan tahun 2024, negara yang mengalami peningkatan status berjumlah 21 negara dan yang mengalami penurunan status berjumlah 52 negara.
“Dari 41 negara yang mengalami penurunan terbesar dalam 10 tahun terakhir, tidak ada negara Indonesia,” imbuhnya.
Kemudian, dalam laporan The Economist Intelligence Unit Limited 2024, Indonesia mendapatkan skor rata-rata 6,53 dan menempati posisi 56, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya. Ada 5 varibel yang digunakan. Variabel satu, proses Pemilu dan pluralisme politik. Dua, kelola pemerintahan. Tiga, tingkat partisipasi politik masyarakat. Empat, budaya politik. Lima, kebebasan sipil.
Haidar berpandangan, kelima variabel tersebut sama persis dengan yang digunakan Megawati sebagai indikator kecurangan Pemilu. Skor Indonesia untuk masing-masing variabel adalah: variabel satu skornya 7,92 (di atas skor regional 5,76 dan global 5,49); variabel dua skornya 7,86 (di atas skor regional 5,52 dan global 4,66); variabel tiga skornya 7,22 (di atas skor regional 5,22 dan global 5,34); variabel empat skornya 4,38 (di bawah skor regional 5,22 dan global 5,24); serta variabel lima skornya 5,29 (di bawah skor regional 5,32 dan global 5,39).
“Kondisi demokrasi Indonesia berada di atas rata-rata regional (5,41) dan di atas rata-rata global (5,41). Indonesia dinilai mumpuni pada variabel proses Pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan dan tingkat partisipasi politik masyarakat. Akan tetapi Indonesia dinilai lemah dalam aspek budaya politik dan kebebasan sipil,” pungkas R Haidar Alwi. (Rief)