Jakarta, ebcmedia – Jakarta Film Week yang akan digelar pada 23 Oktober 2024 hingga 27 Oktober 2024 memberikan ruang dan gambarang tentang perkembangan AI dalam industri film saat ini.
Untuk pertama kalinya JFW akan membuka pemutaran khusus film yang diprodukai AI. Gebrakan ini hadir sekaligus memperkenalkan program baru mereka, Cinema AI.
Indonesia sudah tidak bisa lagi menutup mata dari gelombang teknolohi baru, meski pro dan kontra belum usai, tetapi sudah ada dan menjadi salah satu karya.
Novi Hanabi, Program Manager Jakarta Film Week mengungkapkan Cinema AI adalah salah satu program JFW yang baru dan akan memberikan warna yang berbeda – beda pada edisi kali ini, ia juga mengatakan bahwa AI saat ini sudah tidak bisa lagi ditepikan.
Menurtnya, AI bukan akan menggantikan peran manusia dalam kerja sinema justru AI bisa menjadi alat atau juga teknologi baru yang membantu.
Ia juga mengungkapkan gelaran Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) 2024 sudah mengangkat hal ini. Kini, giliran Indonesia, lewat JFW juga berbicara pada hal yang memang kini tengah ramai disorot didiskusikan.
“AI itu belum bisa me – replace kita apalagi film making, pada akhirnya tetap saja kok film making itu selalu tentang rasa dan mesin tidak punya itu,” ujar Novi saat di temui di FX Sudirman Jakarta, pada Rabu (25/9/2024).
Ia juga membicarakan AI di dalam festival yang berbasis di Jakarta ini sebenarnya sudah mulai dilakukan tahun lalu. Sebab, menurutnya, dunia saat ini mengarah ke teknologi tersebut.
Dia pun menyadari menghadirkan film berbasis AI di sebuah festival adalah sebuah keputusan yang tak gampang. Dia pun berpikir, apakah dengan memberikan ruang bagi film produksi AI ini justru akan menjadi backfire atau tidak.
Ia menuturkan bahwa film AI yang dihadirkan adalah 100 persen produkai AI, dalam arti sang sutradara hanya memasukan kata kunci prompt AI lalu sebuah adegan ajan jadi, kemudian tiap – tiap adegan disatukan hingga menjadi sebuah film.
“Film-film AI yang dibawa tahun ini kebanyakan dari Korea Selatan, ya ada beberapa dari negara lain juga. Filmnya pendek-pendek, ya mungkin sekitar 10 menit,” imbuhnya.
Novi juga mengatakan ada warna yang menarik terjadi di film berbasis AI. Kebanyakan sineas yang mengolah filmnya lewat AI kebanyakan bermain-main dengan genre fantasi. Menurutnya, ini adalah hal yang wajar, setidaknya sebagai sebuah permulaan.
Sebab, menurutnya, keberadaan teknologi memang kerap berperan sebagai alat penembus batas. Oleh karena itu, alih-alih menciptakan sesuatu yang realis, yang notabene bisa dilakukan lewat produksi langsung, para sineas justru senang bermain-main dengan fantasi. Nantinya, juga akan ada film AI produksi AI yang juga ditayangkan.
(Dhio Bams Prasetyo)