Gara-Gara MBG Sektor Pendidikan Kian Menderita, JPPI Ungkap Keluhan Masyarakat

oleh -1291 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengungkapkan berbagai keluhan masyarakat ihwal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah. Alih-alih membawa manfaat, program ini justru menimbulkan berbagai masalah di sektor pendidikan.

“Gara-gara MBG, sektor pendidikan ini kian menderita. Itu yang kami tangkap dari suara-suara yang masuk, baik dari anak-anak, orang tua, maupun masyarakat yang terdampak,” ujar Ubaid dalam konferensi pers di Rumah ICW, Jakarta Timur, Kamis (6/3/2025).

JPPI mencatat, sebanyak 32 persen aduan masyarakat yang masuk melalui kanal pengaduan mereka mengeluhkan adanya pungutan liar di sekolah.

“Ternyata sekolah-sekolah mulai kreatif, ada pungutan tambahan untuk menu, ada pungutan untuk pengadaan gelas, piring, dan lain-lain,” jelasnya.

Sementara itu, kata Ubaid, sekitar 29 persen pengaduan menyoroti kualitas makanan yang disediakan dalam program MBG.

“Banyak yang mengeluhkan makanan tidak bergizi dan tidak higienis. Ada yang pakai plastik, tempatnya kotor, bahkan menunya cuma gorengan semua,” ungkap Kornas JPPI.

Ia pun mengungkapkan, bahwa persoalan limbah juga menjadi sorotan, dengan 20 persen masyarakat melaporkan sekolah kebingungan mengelola sampah yang dihasilkan setiap hari.

“Sekolah-sekolah harus berkoordinasi dengan RT dan RW karena banyaknya limbah dari MBG. Sementara di banyak daerah, sistem pembuangan sampah masih bermasalah,” ujarnya.

Selain itu, dampak lain dari program ini adalah tutupnya warung-warung kecil di sekitar sekolah.

“Sebanyak 9 persen laporan yang kami terima menyebutkan bahwa warung-warung kecil di sekitar sekolah gulung tikar karena siswa tidak lagi membeli makanan di luar sekolah,” terang Ubaid.

Tak hanya itu, kata dia, ada pula keluhan dari para orang tua kepada guru, yang memerintah anak murid untuk menghabiskan MBG, namun mereka tidak merasakan atau memakannya.

Ubaid pun menuturkan, bahwa sebanyak 3 persen laporan yang masuk menyebutkan bahwa anak-anak dipaksa makan, tapi guru tidak ikut makan. Kemudian para orang tua mempertanyakan, kalau makanan itu layak, kenapa guru tidak ikut memakannya.

Lebih lanjut, Ubaid juga menyoroti sebanyak 2 persen dari laporan yang masuk, yaitu ketidakmerataan distribusi program MBG.

“Sampai sekarang, belum semua sekolah mendapat MBG, apalagi madrasah dan pesantren. Banyak yang masih menunggu kejelasan dari pemerintah,” pungkasnya.

(Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.