Jambi,15 Juni 2023,ebcmedia-Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, beserta Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak didampingi Komnas Perlindungan Anak Provinsi Jambi mengunjungi nenek dan orangtua Sarifah untuk memastikan kebenaran informasi yang beredar viral di Jambi, pada Selasa (13/6/2023).
Arist Merdeka Sirait usai mendengarkan keterangan dari Sarifah, mengatakan, pembungkaman suara anak berusia 15 tahun yang telah memperjuangkan dan melindungi dua neneknya, merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar hak anak untuk mengeluarkan pendapatnya.
“Setelah mendengar penuturan Sarifah dan kedua orangtuanya secara langsung, saya menyimpulkan bahwa kritik yang dilakukan Sarifah melalui media sosial terhadap kebijakan Wali Kota Jambi merupakan aspirasi, suara dan pendapat anak yang dijamin oleh undang-undang, Tidak ada yang salah terhadap sikap itu. Itu adalah suara Sarifah sebagai anak,” tutur Arist Merdeka Sirait. Kamis (15/06/2023).
Didapat keterangan dari Sarifah bahwa kondisi tidak adil ini terhadap neneknya itu sudah disuarakannya sejak Sarifah berusia 10 tahun hingga saat ini Sarifah berusia 15 tahun.
Arist mengutarakan, tidak banyak orang tahu bahwa kritik ketidakadilan sosial yang Sarifah rasakan dan neneknya itu, sudah pernah disampaikannya sejak 2022, dan didialokkan secara langsung kepada Presiden Joko widodo di Istana Presiden.
Pada tahun yang sama Presiden Joko widodo melakukan kunjungan kerja ke Jambi dan didampingi Wali Kota Jambi. Pada kesempatan itu Sarifah berhasil menerobos protokol dan blokade Paspampres, seraya menyampaikan kegundahan yang sedang dialaminya.
Tindakan yang dilakukan Sarifah sontak membuat Wali Kota Jambi marah. Menurutnya, Sarifah bertindak tidak sopan terhadap dirinya.
Dia juga mengatakan bahwa Sarifah dan keluarganya menuntut uang Rp 1,3 miliar atas pelaporannya kepada perusahaan yang menjadi sumber masalah.
Perkataan dan ketidakadilan sosial itulah yang membuat Sarifah sebagai anak marah dan kecewa besar dengan mengatakan dalam media sosialnya dia sedang berhadapan dengan situasi Firaun dan iblis. Cuitan Sarifah di medsos membuat amarah sang wali kota. Dia kemudian meminta Kabag Hukum Pemkot Jambi melaporkan tindakan Sarifah ke Polda Jambi.
Sarifah merasakan, pelaporan Wali Kota Jambi ke Polda Jambi adalah upaya mengkriminalisasi dirinya. Kondisi ini membuat Sarifah dan keluarganya tertekan dan terintimidasi.
Dalam kondisi depresi, Sarifah mencemaskan dicabut hak-haknya, termasuk hak atas pendidikan dan hak-hak sipil lainnya.
Atas desakan UPT Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sarifah diminta dan didesak untuk mengakui kesalahannya dengan menandatangani surat pengakuan bersalah. Dari sinilah diduga terjadi pembungkaman suara anak untuk menyampaikan pandangan dan pendapat anak dan pelanggaran terhadap hak partisipasi anak.
Akhirnya Sarifah menandatangani surat pengakuan salah, disaksikan oleh ibunya. Sarifah kecewa dan menangis terhadap peristiwa itu.
Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restorasi yang dilakukan UPT PPPA Provinsi Jambi dan Organisasi Peduli Anak justru tidak berkeadilan, karena tidak dilakukan atas kesepakatan dan persetujuan bersama. Karena dinilai melanggar pedoman, syarat , mekanisme dan kode etik penyelenggaraan keadilan restorasi.
Dengan informasi dan penjelasan dari Sarifah dan keluarganya dan mencari penyelesaian yang berkeadilan inilah, mendorong Komnas PA bernisiasi menawarkan penyelesaian perkara ini kepada gubernur selaku pimpinan daerah Jambi.
“Tawaran penyelesaian masalah tersebut di antaranya Wali Kota Jambi mencabut laporannya ke Polda Jambi dan mendesak wali kota meminta maaf kepada keluarga Sarifah dan meminta Gubernur Jambi memfasitasi agar perusahaan membeli dan atau melakukan relokasi rumah nenek Sarifah ke tempat dan lokasi rumah yang lebih baik dan sehat,” jelas Arist. (Oby)